Lihat ke Halaman Asli

Marsha Reviana

Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Sunan Gunung Djati Bandung

Kebanyakan Ilmuwan Muslim adalah Kaum Non-Arab dalam Kitab Muqaddimah

Diperbarui: 15 Juni 2023   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ibnu Khaldun, yang terkenal sebagai sejarawan, sosiolog, ahli politik, dan ekonomi Islam, berpendapat dalam Kitab Muqaddimah bahwa mayoritas ilmuwan Muslim berasal dari kalangan non-Arab yang disebut "Ajam". Menurut Ibnu Khaldun, kebanyakan ilmuwan dalam dunia Islam, baik dalam ilmu agama maupun ilmu logika, bukanlah orang Arab, kecuali hanya sedikit yang merupakan pengecualian. Bahkan jika ada yang berasal keturunan Arab, mereka menggunakan bahasa asing, dididik dalam lingkungan asing, dan memiliki guru-guru yang berasal dari luar Arab. Hal ini menarik karena Islam berasal dari dunia Arab dan Nabi nya adalah orang Arab.

Hal ini terjadi karena agama pada dasarnya tidak meliputi pengetahuan dan keterampilan yang mendalam. Sebaliknya, agama terdiri dari aturan-aturan Allah dan larangan-Nya yang diterima oleh para penganut agama dalam hati mereka. Mereka memperoleh pemahaman agama melalui Al-Qur'an dan hadis yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Pada masa itu, bangsa Arab tidak memprioritaskan pendidikan, menulis, atau mencipta karya tulis. Mereka tidak merasa membutuhkan hal-hal semacam itu.

Kondisi ini berlangsung hingga masa para sahabat dan generasi berikutnya, yang menyebut mereka yang membawa dan mengajarkan Al-Qur'an sebagai "Al-Qurra'," yang berarti orang pembaca Al-Qur'an. Mereka bukanlah orang-orang buta huruf. Faktanya, pada saat itu, buta huruf adalah fenomena umum di antara para sahabat, termasuk mayoritas bangsa Arab. Oleh karena itu, orang-orang yang menghafal Al-Qur'an pada masa itu dikenal sebagai "Al-Qurra'," yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang membacakan kitab Allah dan sunnah Nabi.

Masyarakat pada saat itu hanya mengenal hukum-hukum agama melalui Al-Qur'an dan hadis, yang berfungsi sebagai penjelasan. Rasulullah bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, yang apabila kalian berpegang pada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat; ia adalah kitab Allah dan sunnahku."

Namun, seiring berjalannya waktu dan jarak antara ajaran ini dengan sumber asalnya semakin meningkat, maka mulai diperlukan penafsiran Al-Qur'an dan penjagaan terhadap hadis agar tidak hilang. Pengetahuan tentang sanad (rantai perawi hadis) dan penelitian terhadap para perawi hadis juga diperlukan untuk membedakan hadis yang shahih dan yang tidak. Setelah itu, banyak hukum-hukum yang disimpulkan dari Al-Qur'an dan hadis berdasarkan berbagai situasi yang ada.

Dalam perkembangannya, bahasa Arab mulai mengalami kemunduran. Oleh karena itu, dibutuhkan pembatasan dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab). Sebagai hasilnya, ilmu-ilmu agama menjadi naluri dalam penarikan hukum, perenungan, dan qiyas, sehingga memerlukan disiplin ilmu lain. Semua ini bertujuan untuk memahami aturan-aturan bahasa Arab, hukum, qiyas , dan mempertahankan keyakinan dalam iman dengan menggunakan bukti yang kuat mengingat adanya banyak penyimpangan dan kesesatan. Oleh karena itu, semua pengetahuan ini menjadi bagian dari suatu disiplin ilmu yang harus diajarkan dan dituangkan dalam bentuk tulisan.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa keahlian adalah hasil dari kemajuan peradaban. Namun, bangsa Arab pada masa itu jauh dari pencapaian tersebut. Keilmuan menjadi indikator kemajuan peradaban yang tidak dimiliki oleh bangsa Arab pada saat itu. Peradaban pada masa itu didominasi oleh bangsa Ajam (non-Arab) atau orang-orang yang memiliki latar belakang serupa, seperti Mawali (non-Arab yang mendapat pengaruh langsung dari bangsa Arab). Masyarakat yang memiliki peradaban maju pada saat itu adalah mereka yang mengadopsi pendekatan Ajam dalam penciptaan karya.

Mereka telah memiliki peradaban yang kuat sejak pemerintahan Persia. Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa penyusun pertama dalam ilmu nahwu adalah Sibawaih, diikuti oleh Al-Farisi, dan kemudian Az-Zajjaj. Mereka semua berasal dari keturunan Ajam. Namun, mereka dididik dalam bahasa Arab sehingga dapat berinteraksi langsung dengan bangsa Arab. Mereka meletakkan dasar-dasar dan seni dalam bahasa Arab untuk diwariskan kepada generasi berikutnya.

Hal yang sama berlaku bagi para pembawa hadis yang memperoleh hadis-hadis dari ulama Islam. Sebagian besar dari mereka juga adalah orang Ajam atau keturunan Ajam. Para ulama dalam ilmu ushul fikih, ilmu kalam, dan ilmu tafsir juga kebanyakan berasal dari kalangan Ajam. Demikian pula, ahli penghafal dan ahli membukukan ilmu banyak berasal dari orang Ajam.

Hal ini menggambarkan kebenaran ucapan Rasulullah, "Andai suatu ilmu tergantung di langit, niscaya akan diraih oleh suatu kaum dari penduduk Persia." Orang Arab yang menerima peradaban ini dan membawanya keluar dari kebaduian justru sibuk dengan urusan pemerintahan dan segala urusannya. Para pemimpin seringkali meremehkan hasil karya dan pekerjaan ini, dan mencari orang dari kalangan Ajam dan Muwallad (campuran Arab dan non-Arab) yang bersedia melakukannya.

Para pemimpin dari bangsa Arab masih mengakui hak orang-orang Ajam untuk melakukan hal-hal tersebut. Mereka tidak sepenuhnya meremehkan para pembawa ilmu ini, karena keilmuan merupakan bagian dari identitas dan ideologi mereka. Namun, setelah bidang ini sepenuhnya berada di luar kendali orang Arab dan sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Ajam, ilmu-ilmu agama menjadi asing bagi keluarga kerajaan. Mereka jauh dari bidang ini dan tidak terlibat secara signifikan lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline