Tidak pernah membayangkan saya hari ini menulis di Kompasiana. Ya, meskipun masih ecek-ecek, tetapi ini pencapaian yang cukup bisa saya banggakan.
"Halah! Padahal menulis saja menunggu mood, views masih kecil, profil pun masih debutan. Capek deh, ngaku-ngaku pencapaian yang bisa dibanggakan."
Eits, bukan begitu sobat. Saya tahu betul bahwa tulisan saya di Kompasiana masih jauh dari kata bagus. Saya akui menulis dengan konsisten itu sangat sulit. Akan tetapi, berani menulis dan membaginya ke orang banyak bukanlah perkara enteng untuk remaja seusia saya (Generasi Z).
Kami tumbuh besar di era Instagram, Whatsapp, dan Facebook menjadi ajang unjuk diri. Perasaan minder dan insecure terus menghimpit setiap hari; setiap kali membuka handphone. Suguhan harian media sosial kami adalah foto-foto aesthetic, quotes-quotes galau tapi cool, playlist lagu Spotify, dance TikTok, konten budak cinta, dan masih banyak lagi kepameran yang lain.
Jadi ya sah-sah saja jika saya mengatakan ini merupakan sesuatu yang luar biasa di dalam perkembangan diri saya. Setidaknya saya berani unjuk diri lewat pikiran-pikiran yang saya tuangkan di sini. Tentu keberanian itu semua tidak dicapai oleh waktu sehari dua hari.
Awalnya Penikmat Saja
Saya pertama kali mempunyai handphone waktu duduk di kelas 5 SD. Kala itu dapat lungsuran Samsung Galaxy dari kakak.
Saya masih ingat betul, aplikasi yang saya unduh adalah Blackberry Messenger. Di sana terdapat pembaruan status kontak yang biasanya teman-teman mengunggah quotes ringan. Macam-macam. Di media sosial lain, Instagram, justru lebih banyak dan variatif. Kurang lebih seperti ini:
Dari foto di atas sudah dapat dilihat kan, ya, bahwa saya suka mengoleksi quotes-quotes terutama yang menggambarkan perasaan saya.