Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Arrayyan

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kedaluwarsanya Kasus HAM dan Impunitas di Negara Hukum

Diperbarui: 3 April 2021   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelanggaran HAM di Indonesia bukan lagi seperti sesuatu yang jarang terjadi. Bahkan setiap tahun kerap kali terjadi beberapa kasus pelanggaran HAM tersebut. Hak asasi manusia itu sendiri adalah hak-hak yang melekat pada setiap diri manusia, Maka dari itu setiap manusia berhak mendapatkan hak atas kehidupan yang layak dan taraf yang paling minimum. Hak asasi yang diperoleh setiap manusia ini berlaku kapanpun, kemanapun dan dimanapun manusia itu berada sehingga bersifat universal.

Maraknya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang sempat ramai sehingga menjadi pertanyaan publik kepada para penegak hukum, mengapa banyak kasus pelanggaran HAM berat yang jarang diusut sampai tuntas. Kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan dan menjadi perhatian publik yaitu peristiwa  penembakan beberapa Mahasiswa Trisakti, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Semanggi I dan II, penculikan aktivis, Pembunuhan Munir, dan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang lainnya.

Dari sejumlah kasus yang belum terselesaikan itu, artinya pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk segera menyelidiki dan mengungkapkan bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan siapa pelakunya. Pemerintah hanya selalu berjanji akan mengusut tuntas semua kasus pelanggaran HAM yang ada. Namun demikian, janji hanyalah sebatas janji, keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia tidak mendapat jawaban atau solusi yang jelas. Pemerintah juga selalu menutup-nutupi pelaku pelanggaran HAM yang itu menyangkut para penguasa.

Para pelaku pelanggaran HAM berat ini dianggap mempunyai Impunitas, Impunitas dalam kasus ini memiliki arti yaitu fakta bahwa pelanggar hak asasi manusia seolah-olah mendapatkan kekebalan hukum. Biasanya hal ini terjadi karena pemerintah menolak atau tidak mengambil tindakan hukum terhadap pelanggar. Tindakan semacam itu juga menyinggung dan tidak tunduk pada sanksi hukum hak asasi manusia internasional.

Istilah  pelanggaran  HAM  berat  merujuk  pada kejahatan  HAM  serius  yang diatur  di  dalam  Statuta  Roma (the  most  serious  crimes) yang  terdiri  dari  empat klasifikasi, yakni   genosida (genocide), kejahatan   kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes),dan agresi (crime of aggression). Dari   empat   klasifikasi   tersebut,   Indonesia   hanya   mengadopsi   dua   klasifikasi pelanggaran  HAM  berat  di  dalam  UU  Pengadilan  HAM  yakni  genosida  dan kejahatan  terhadap  kemanusiaan  sedangkan  untuk  kejahatan  perang  dan  agresi tidak   dimasukkan.   Jika   diinterpretasikan   secara   historis,   maksud   pembentuk undang-undang    saat    merumuskan    konsep    pelanggaran    HAM    berat    tanpa memasukkan  kejahatan  perang dan  agresi dikarenakan  konteks  negara  pada  masa itu  yang sama  sekali  tidak atau  kecil  kemungkinan  di  masa mendatang akan berhadapan dengan situasi perang dan agresi. Meskipun Indonesia mengadopsi dua klasifikasi tersebut, sejatinya sampai hari ini Indonesia sama sekali belum  meratifikasi  Statuta  Roma  sebagai  instrumen  yang  mengatur  mengenai kejahatan HAM serius (serious crimes) atau kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).

Bagaimana cara para korban menggugat para pelanggar HAM tersebut? dan bagaimana tata cara pengadilan HAM ? Sesungguhnya suatu pelanggaran HAM dapat diproses secara hukum melalui pengadilan HAM yaitu dengan cara memberikan alat bukti yang valid kepada Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ("Komnas HAM"). Sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 Pasal 1 ayat 3 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Demikian pula Menurut Pasal 18 ayat (1) UU 26/2000, penyelidikan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM. Setelah itu Komnas HAM memberikan laporan dan bukti-bukti tersebut kepada Jaksa Agung. Mengapa demikian ? karena memang tugas dan wewenang Jaksa Agung itu adalah menyidik dan memvalidasi kebenaran bukti yang telah diberikan oleh korban. Sebagaimana pula diatur dalam (Pasal 19 ayat [1] huruf b UU 26/2000) Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya berwenang menerima laporan atau pengaduan seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Jika bukti itu memang benar adanya maka kasus tersebut bisa segera diusut tuntas.

Di Indonesia penuntutan dalam Hukum Pidana bisa saja tidak berlaku jika batas waktu penyidikan telah melebihi ketetuan yang ada atau dikenal dengan istilah daluwarsa. Batas waktu tersebut telah diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, dalam kasus extraordinary atau pelanggaran HAM berat ini seyogianya tidak ditentukan batas waktunya, karena diatur secara lex spesialis dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan "Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.". Dengan tidak berlakunya ketentuan daluwarsa dalam kasus pelanggaran HAM berat, maka segala bentuk pelanggaran HAM yang berat di masa lampau tetap dapat diproses dan diadili. Pengadilan HAM (ad hoc) mengkaji dan memutus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik sesuai dengan kejadian-kejadian tertentu dalam undang-undang.

Meskipun telah ada ketentuan yang mengaturnya, kenyataanya banyak kasus pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini tidak terselesaikan. Seperti yang terjadi pada kasus seorang aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib pada tanggal 7 September 2004. Pada saat itu Munir dibunuh karena dugaan memegang data penting seputar pelanggaran hak asasi manusia seperti Pembantaian Talangsari, Penculikan Aktivis 1998, Referendum Timor Timur, hingga kampanye hitam pemilihan presiden tahun 2004. Seharusnya kasus Munir ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena dilakukan secara sistematis dan terencana. Yang mana jika kita mengacu pada peraturan yang ada, seyogyanya kasus tersebut bisa diselesaikan meskipun sudah terjadi 16 tahun silam.

Melihat tadi kasus tersebut dapat menggambarkan bahwasannya pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan HAM belum berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu seharusnya pemerintah dapat segera menyelidiki siapa dalang pelaku dibalik kasus tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline