Rektor asing di Universitas negeri baru saja diwacanakan oleh Menristek dikti. Ada setidaknya 4 alasan yang disampaikan mengapa mewacanakan hal ini yaitu karena sudah lumrah dilakukan di negara lain seperti singapura, untuk akselerasi rangking dunia PTN, untuk mendapatkan pendidikan kelas dunia di dalam negeri, dan target peringkat 100 besar dunia.
Tentu saja perbedaan pendapat akan muncul mengenai hal ini. Kelompok yg anti karena didasari primordialisme akan segera berkata, "Pak menteri ini antek asing! Sekarang universitas kita pun akan dikuasai oleh asing, apalagi yang bisa dibanggakan dari negeri ini? Orang yang lebih rasional mungkin akan bertanya, apakah anak bangsa ini tidak ada yang sanggup? Atau apakah ini solusi? Di sisi lain, mungkin ada juga kelompok masyarakat yang sangat mendukung wacana ini, dengan alasan "memang orang indonesia, kalau tidak digituin tidak akan maju".
Perguruan Tinggi kita kini
Saya kira semua orang yang mencintai indonesia sepakat bahwa mutu universitas kita masih harus ditingkatkan. Sekalipun kita telah memilih universitas terbaik di Indonesia untuk dibandingkan dengan universitas di negara lain, negara kita masih kalah.
Bandingkan saja dengan singapura misalnya dimana universitas terbaik mereka sekarang telah menduduki peringkat 11 dunia dan ada dua universitas yang ada di top 100 berdasarkan data dari QS ranking. Dari sumber data yang sama, universitas terbaik malaysia juga telah mengungguli Indonesia dengan menduduki peringkat 70 dunia dan memiliki 5 universitas yang berada di top 300 dunia.
Sementara universitas terbaik Indonesia yang diwakili Universitas Indonesia (UI) hanya mampu menduduki peringkat 296 dunia dan tidak ada Perguruan Tinggi selain UI yang ada di top 300 dunia. Padahal dari segi umur Indonesia telah lebih lama merdeka, dan universitasnya telah lebih lama berdiri juga.
Jika dibandingkan jumlah publikasi SCI (science citation index) dari periode 1996-2018, Indonesia menduduki peringkat 11 di asia dengan total dokumen 1.1 juta, kalah dengan Thailand, Malaysia, Singapura, Taiwan, Jepang, China yang masing-masing memiliki total dokumen publikasi secara berurut 1.78 Juta, 2.86 Juta, 2.92 Juta, 6.58 Juta, 27.5 Juta, 59.01 Juta (www.scimagojr.com, diakses pada 8/8/2019).
Secara peringkat hal ini tidak terlalu buruk. Tetapi jika dibandingkan dengan jumlah dosen di Indonesia yang berjumlah sekitar 289 ribu (data forlap dikti 2016), maka dalam periode 1996 sampai 2018 jumlah publikasi rata-rata per orang dosen kita hanya ada di angka 3.8 publikasi per orang per 24 tahun.
Biar kelihatan lebih baik, mari kita bagikan dengan jumlah dosen yang berpendidikan doktor saja yang berjumlah 43.693, maka publikasi per satu orang dosen dalam 24 tahun terakhir adalah 25, atau setara 1 tahun satu jurnal SCI. Sayangnya saya tidak mendapatkan data pembanding untuk jumlah dosen di Singapura.
Data-data ini sebenarnya hanyalah puncak dari gunung es persoalan yang ada di unversitas di Indonesia. Apakah rektor asing mampu menyelesaikan persoalan ini adalah pertanyaan yang tidak fundamental, lebih baik kita menelaah akar dari persoalan ini, setelahnya kita melihat korelasi antara tawaran solusi rektor asing dan persoalan yang kita hadapi.
Harus diakui, pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas pendidikan indonesia, misalnya saja dengan pemberian sertifikasi dosen, insentif untuk publikasi ilmiah, hibah untuk penelitian,penutupan perguruan tinggi yang melanggar peraturan, dan tentu saja anggaran pendidikan yang sudah mencapai 20 persen dari total APBN.