Pernyataan Inggris dan Prancis untuk memangkas penjualan kendaraan bermesin diesel dan bensin pada 2040 untuk mengurangi polusi udara dan emisi karbon merupakan salah satu aksi lanjut dari Paris Climate Agreement yang berlaku 4 November 2016. Berbagai kalangan merespon berbeda terhadap hal ini, Shell beranggapan kebijakan tersebut kontra produktif karena mengesampingkan perkembangan kendaraan efisien bahan bakar dan bukan pendekatan yang terbaik untuk mengurangi polusi udara dan emisi karbon.
Di sisi lain raksasa otomotif Swedia Volvo yang saat ini telah dimiliki oleh China Geely mengumumkan tidak akan memproduksi kendaraan bermesin bensin atau diesel setelah tahun 2019. Volvo akan lebih fokus untuk memproduksi kendaraan listrik (Electric Vehicles/EV) dan kendaran kombinasi bensin dan listrik (Hybrid Vehicles).
Sebagaimana dikutip Dailymirror saat ini terjadi 15% penurunan pada penjualan kendaraan diesel di Inggris sebagai akibat dari peringatan kematian akibat polusi udara dan tingginya pajak. Data dari Society of Motor Manufacturers and Traders, asosiasi perdagangan industri otomotif di Inggris juga menunjukan peningkatan penjualan model kendaraan listrik dan hybrid.
Menurut BP energy outlook saat ini populasi kendaraan listrik baik full baterai maupun hybrid menunjukan peningkatan yang cukup signifikan dari 1,2 juta pada tahun 2015 dan diperkirakan akan mencapai hingga 100 juta unit pada 2035 (6% dari kendaraan secara global).
"Kendaraan listrik adalah keniscayaan" sebuah kutipan pernyataan menteri ESDM, Ignatius Jonan setelah bertemu dengan Dahlan Iskan pada sebuah seminar di Unair pada November 2017 lalu. Saat itu Dahlan memperkenalkan mobil listrik Tesla miliknya kepada Jonan dan berbincang mengenai kelebihan-kelebihan dari mobil "Elon Musk" tersebut. Jonan juga sudah menyampaikan rancangan Perpres kendaraan listrik yang sedang dalam tahap pembahasan sebelum ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Agar mobil listrik dapat berkembang setidaknya ada 2 hal utama yang perlu di perhatikan untuk mendukung hadirnya kendaraan listrik di Indonesia bila berkaca pada kebijakan negara-negara Eropa. Pertama adalah pembangunan Infrastruktur dan kedua, Insentif/subsidi pemerintah. Kedua hal ini secara simultan merupakan instrumen pemerintah untuk dapat menarik berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung program mobil listrik.
Pembangunan infrastruktur untuk mendukung hadirnya kendaraan listrik yaitu menyediakan parkir khusus untuk Stasiun Pengisian Listik Umum (SPLU) di area publik. Negara-negara seperti Denmark, Norway dan Swedia rata-rata sudah menyediakan SPLU di parkiran apartemen, hotel, mall, stasiun kereta, perkantoran, SPBU, bandara dll. Area publik tersebut biasanya merupakan lokasi yang dikunjungi pengunjung dalam durasi paling cepat 60 menit. Beberapa daerah di Eropa juga telah memanfaatkan panel surya untuk menghasilkan listrik di SPLU tersebut. Informasi SPLU juga disediakan dalam bentuk applikasi mobil untuk membantu pemilik kendaraan listrik menentukan lokasi mengisi daya kendaraan listriknya sebelum berpergian.
Hal ini dikarenakan waktu pengisian baterai memerlukan waktu yang cukup lama antara 30 menit hingga 8 jam dengan kapasitas aliran listrik 220-240 Volts. Durasi pengisian baterai kendaraan listrik juga sangat tergantung pada kapasitas baterai kendaraan dan kapasitas tegangan listrik yang dialirkan di SPLU. Pengisian daya untuk kendaraan listrik di rumah-rumah di Eropa juga memiliki standar infrastruktur listrik khusus untuk memastikan keamanan agar pengisian daya berhenti secara otomatis apabila baterai telah terisi penuh.
Berdasarkan informasi dari International Energy Agency (IEA) negara-negara Eropa memberikan berbagai macam insentif untuk mendukung hadirnya mobil listrik. Seperti di Denmark memberikan pembebasan pajak registrasi dan pajak sirkulasi tahunan serta pembebasan biaya parkir. Di Norwegia misalnya, memberlakukan insentif pembebasan PPN senilai 25% dari harga kendaraan, pembebasan pajak tahunan kendaraan, pajak registrasi, diskon pajak untuk leasing/kredit, subsidi tipe mobil listrik tertentu sebesar 4000 Euro, bebas penerapan pajak emisi, bebas masuk tol, bebas naik ferry, bebas parkir, bebas akses ke pusat kota, bebas melewati jalur kendaraan umum serta bebas pengisian daya listrik di tempat umum.
Pemerintah Swedia juga memberikan insentif pajak sirkulasi 5 tahunan dan pajak emisi untuk kendaraan listrik bahkan memberikan potongan langsung sebesar 4000 Euro sejak 2011 dan mulai 2016 diturunkan menjadi 2000 Euro karena semakin meningkatnya populasi kendaraan listrik.
Indonesia sebagai salah satu dari 170 negara yang menandatangani dan meratifikasi Paris Agreement secara tidak langsung memiliki tanggung jawab untuk mengimplentasikan kesepakatan tersebut dalam lingkup nasional. Melalui perangkat regulasi yang saat ini tengah disiapkan oleh pemerintah, maka diharapkan dapat mendorong berbagai pihak terkait agar keniscayaan mobil listrik dapat berkembang dengan baik di Indonesia. Hal tersebut dapat diterjemahkan dengan kemauan politik yang kuat untuk membangun infrastruktur pendukung mobil listrik yang terintegrasi serta insentif pajak yang menarik bagi produsen mobil maupun konsumen.