Lihat ke Halaman Asli

Hujan di Musim Semi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

HUJAN DI MUSIM SEMI

Musim semi datang membawa semua kenangan tentang aku dan dia. Awal pertemuan aku dan dia. Entahlah, ini musim semi yang keberapa. Aku masih sama, belum berubah—yang berubah hanyalah keadaan kita. Dulu kita punya arah dan tujuan sama. Ingatkah? Awal memasuki ruang kelas menengah atas, garis-garis polos, lugu, bersemangat, bingung, bahkan sedih melapisi setiap wajah siswa baru. Aku tersenggal oleh tepukan tangan seseorang”boleh menggeser tempat duduknya. Tempat duduk yang lain sudah penuh”. Aku hanya membalas dengan “anggukan”, iya. Tapi bukan karena aku dan dia berbagi tempat duduk yang akhirnya membuatku terkagum-kagum padanya. Dari aku dan dia satu kelaslah awal muasal cerita ini. Sungguh, gadis mana yang tidak kagum dengan kepintaran seseorang. Membimbing teman yang kurang pengetahuannya, namun tidak menggurui. Hari demi hari, lantas bulan. Entahlah, sejak kapan rasa kagum ini bertambah kadarnya atau mungkin sudah berubah bentuknya. Dari rasa kagum berubah rasa suka, entahlah. Yang pasti kita sering meluangkan waktu bersama, belajar bersama, dan bermain bersama. Pernah suatu ketika, aku dan dia hendak menghadiri acara pameran tentang seni, namun karena ban bus yang kita tumpangi bocor, kita diturunkan di jalan. Dan betapa tidak beruntungnya, hujan turun dengan derasnya. Buru-buru aku dan dia tergopoh-gopoh mencari tempat berteduh. “Ris, kau tahu, kenapa bagiku hujan selalu menenangkan? Karena bagiku, air hujan yang turun itu membawa oksigen—bagai menyapu bersih rasa lelah yang kita rasakan, dan air hujan yang mengalir bagai bisa membawa setiap masalah yang kita miliki hanyut olehnya”

Dan kata-kata itulah yang selalu aku ingat hingga saat ini. Meski banyak perkataan-perkataan hebat yang keluar dari mulutnya. Tapi hanya itu yang ingin aku ingat. Bulan berganti tahun. Entahlah, apa yang membuat aku dan dia pada akhir kelulusan berubah arah dan tujuan.

“Ris, kamu mau nglanjutin sekolah kemana?”, di tempat aku dan dia biasa nongkrong sontak terasa mengecil, udara di sekitar ruangan menepi dariku. Mata ini penuh emosi. Aku menjawab,”mungkin Jakarta Kal, kamu?”. Sungguh pada saat itu aku tak ingin mendengar jawabannya, atau kalau bisa aku ingin menyumpal telingaku dengan sendok yang aku pegang, tapi sebelum aku melakukannya, suara Haikal lebih dulu mengetuk gendang telingaku. “aku ingin melanjutkan ke luar negeri Ris. Emm Rista,di manapun nantinya kamu sekolah berjanjilah selalu menjadi gadis yang ceria, lucu, dan pintar. Setelah dua tahun nanti, datanglah ke airport yang dulu kita pernah nemuin anak kucing bersama”

Dan benar saja, aku seperti anak ABG yang mudah percaya dengan omongan seseorang. Iya, setelah dua tahun melewati masa-masa perkuliahan yang sulit. Namun, semua masa sulit itu begitu mudah aku lewati. Dan seolah-olah dia menjadi semangat positif bagiku. Aku menepati janjiku. Aku datang ke airport yang dia katakan dua tahun silam. Entahlah, apa semua tentangnya yang dulu sudah berubah. Aku sempat mencari berita tentang kedatangan pesawat terbang dari Singapura menuju Indonesia. satu jam sudah aku menuggu. Entahlah, apa yang membuatku gugup dan tidak sabar ingin segera melihatnya.”Rista....”. suara lembut itu terdengar dari balik pintu airport. Aku refleks menoleh. Dan lihatlah betapa mengagumkannya dia, ucapan selamat datangnya, ucapan sebagai seorang sahabat lama yang begitu menenangkan. Sungguh, ini kebahagiaan yang luar biasa. Tapi entahlah, siapa gadis menawan yang tersenyum kepadaku dari balik punggungnya. Tanpa pikir panjang, dia meraih koper-koper yang dibawa gadis itu lantas memperkenalkan padaku. Sungguh, kebahagiaan yang baru saja aku rasakan, perlahan berguguran. Gadis itu calon tunangannya. Untuk sekadar mengatakan nama saja, lidahku kelu. Tubuhku gemetaran, entahlah. Macam ada sesutu yang menggores hati ini. Entahlah, aku merasa mata ini perih. Aku tertunduk sebentar, mencoba menguatkan hati. Dan aku hanya bisa tersenyum dengan sesuatu yang mencekik di leherku.”Ris, gimana kalau kita makan bersama, untuk merayakan kedatanganku”. Aku buru-buru menjawab dengan terbata-bata,”emm, gak usah Kal, kalian makan aja duluan, aku masih menuggu kakakku juga, iya dia juga akan segera tiba”. Aku berbohong, mana mungkin kakakku pergi ke luar negeri. Semua perkatannya dulu berputar-putar di kepalaku. Perkataan tentang perasaannya, tentang harapannya. Sungguh, harapan itu berguguran dan takkan menjadi kenyataan. Haikal membantu gadis itu memasukkan koper satu per satu ke mobil lantas menghampiriku berusaha tegar mengatakan,”maafkan aku Ris, membuatmu menunggu. Kau masih sama, masih ceria dan lucu”. Aku tersenyum sembari melihat mobil mereka melaju mulus ditelan kelokan jalan. Entahlah, kenapa suasana di airport ini mendadak mendukung suasana hatiku. Langit yang begitu cerah berubah gelap, kumpulan awan mengepal, dan hujan turun tak terhentikan. Kini kita telah berbeda. Musim semi tahun ini biarlah menjadi penutup ceritaku tentangmu. setidaknya aku tidak perlu menunggu harapan yang belum pasti. Meski dengan gores di hati, setidaknya semua menjadi lebih jelas. Musim semi dipadu hujan deras ini biarkan seperti perkataannya dulu. Biarlah, hujan deras yang akan membawa rasa lelah menuggunya, biarkan juga hujan deras ini menyapu habis perasaan tentangnya. Biar aku lega pada Musim Semi yang memberi lembar baru di tahun ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline