Lihat ke Halaman Asli

PMII di Umur yang ke-55, Masih Berjalan Tak Ubahnya Partai Politik

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kini tengah memasuki umur yang ke-55. Umur yang tak lagi muda jika diukur dengan umur manusia yang rata-rata hidup sampai umur 70-80 tahun. Peringatan hari lahir atas organisasi yang secara kultur dan ideologi memiliki ketersambungan dengan Nahdlatul Ulama’ (NU) ini untuk tahun ini diselenggarakan di Surabaya. kota di mana PMII lahir dan dideklarasikan.

Dalam serangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah), yang pembukaannya (16/4) diselenggarakan di halaman terbuka Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama’ (PWNU) Jawa Timur, panitia menghadirkan Budayawan Madura D. Zawawi Imron, pegiat kesenian Sudjiwo Tedjo, dan beberapa artis dangdut papan atas, termasuk di antaranya jebolan Kontes Dangdut Indonesia (KDI). Acara cukup meriah dan menyedot perhatian. Setidaknya karena megahnya acara dan di paripurnai di malam selanjutnya (17/4) dengan istighosah yang dihadiri oleh Presiden Jokowi di Masjid Al-Akbar Surabaya.

Sejak menyebarnya info melalui BlackBerry Massangger (BBM), Short Massage Servis (SMS), Facebook, dan alat komunikasi canggih terkini lainnya terkait acara ini, saya mulai bertanya-tanya, dari mana kira-kira dana acara ini didapat, sehingga acara yang pasti menelan biaya yang tidak kecil ini dapat berjalan lancar dan khidmat. Ternyata, sudah menjadi rahasia umum, bahwa acara ini di-backup oleh para senior, utamanya yang lagi, sedang, dan pernah menjabat sebagai pejabat, maupun pegawai di pemerintahan. Atau, oleh mereka para senior yang kaya raya. Apakah backup-an itu benar sukarela dan tak ada maksud dibaliknya? Nah, itulah yang ingin saya tulis untuk mendiskusikan tentang PMII yang sejak deklarasi dicetuskan di Munarjati, Lawang, Jawa Timur pada14-16 Juli 1972 menyatakan diri independen dan tidak berkenan dijadikan underbow partai politik mana pun. Backup-an itu sulit ditepis bila tidak memuat kepentingan para senior yang rata-rata politisi itu. Dalam tata pakem orang Indonesia, orang yang telah membantu, menolong, dan turut andil dalam pencarian solusi atas masalah hidup yang dijalani, adalah orang yang harus dihormati, setidaknya yang dibantu maupun yang ditolong itu tidak mengusik kehidupan dan profesinya. Terserah dari mana modal bantuan dan pertolongan itu, dia hanya melihat kebaikan membantu dan menolongnya. Titik.

Kembali lagi kepada backup-an senior dalam acara harlah. Sekilas, memang tidak salah. Apa salahnya membantu dan memberi pertolongan. Tapi pertolongan dan bantuan menjadi salah tatkala yang dibantu tidak menanyai dari mana muasal bantuan itu berawal. Menjadi tambah salah tatkala yang dibantu menjadi kerdil dan tak punya kekuatan untuk memberikan kritik yang membangun atas para senior pemberi bantuan yang hampir semuanya politikus itu. Menjadi semakin salah, bila kita yang junior, menghubungi seniornya untuk membantu, dan jelas-jelas tahu bahwa senior itu dalam posisinya sebagai politisi maupun abdi Negara kerap menerapkan praktik politik picik dan menjadikan pundi-pundi Negara sebagai ladang jarahan untuk memperkuat posisinya dan mempermantap harta kekayaannya. Saya tidak menuduh, tapi itu rahasia umum tabiat politikus di republik yang rata-rata beragama Islam itu.

PMII tidak salah menghubungi, menjalin silaturrahim dan meminta bantuan kepada senior. Tapi PMII harus katakan sejak awal, jika bantuan itu tidak memuat pepesan tertentu, kepentingan tertentu, yang justru mendegradasi atas nilai-nilai agama Islam maupun Pancasila sebagai dasar pijak dan ideologi dalam berbangsa. Bila mau dipersempit, bantuan itu bukan didapat dari hasil menjarah, merampok hak dan milik rakyat yang kini pelaku penjarahan dan perampokan itu familiar dikenal dengan sebutan koruptor. Terkait hal ini, “bantuan halal dan tidak mengikat” yang biasa tertuang dalam lembar proposal bantuan dana yang dibuat PMII harus benar-benar diterapkan. Setidaknya oleh sahabat pergerakan sendiri sedari awal. Bukan hanya sekedar srimonial formal tapi dalam praktiknya tetap menjadi bagian dari proses penghancuran atas jalannya republik ini.

Acara harlah PMII, sulit ditepis tidak didanai dari ”bantuan halal dan tidak mengikat”. Acara harlah yang mengelegar itu, patut diduga mendapat bantuan tidak halal dan pasti mengikat, utamanya dari mereka yang jelas-jelas sebagai politisi. Untuk mengatakan bantuan itu halal dan tidak mengikat, saya belum menemukan alur rasionalisasinya. Tidak halalnya di mana? Jika bantuan itu didapat dengan cara korupsi. Walau formalnya tetap didukung oleh ayat-ayat agama sekalipun. Mengikatnya di mana? Setidaknya, mereka yang membantu, tidak terusik ketenangan dan kenyamanannya selama sebagai politisi. Terlebih, saat ia bertindak dalam mengikis keluhuran bangsa yang termaktub di dalam Pancasila. Apalagi jelas sedari awal memuat transaksi yang distruk atas republik.

Agar PMII tidak terus dalam posisi menegadah meminta, memohon, dan dikasihani saat akan menyelenggarakan acara, baik yang bersifat kaderisasi di tingkat rayon sampai acara besar seperti kongres dan harlah, sudah saatnya PMII mandiri dengan mengembangkan unit usaha sebagai mesin professional dalam menyelenggarakan segala kegiatan yang diselenggarakan PMII. Gagasan ini sebenarnya bukanlah gagasan baru, Cuma mereka yang memiliki inisiasi begini kalah tersingkir oleh mereka yang berpradigma politik ala politisi kebanyakan di partai politik. Setiap acara membuat proposal dana kepada senior-senior, utamanya yang berprofesi sebagai politisi di partai politik maupun yang menduduki jabatan di lembaga Negara maupun perusahaan. Ini lumrah dan terjadi dari tingkat rayon sampai PB.

PMII bila benar-benar mau independen dan tak mau menjadi underbow partai politik sebagaimana Deklarasi Munarjati, harus benar-benar memikirkan bagaimana mandiri. Bagaimana koperasi yang dinisiasi oleh Bung Hatta diinternalisasi dalam struktur maupun kultur PMII. Unit-unit usaha segera didirikan mulai tingkat rayon sampai PB. Hentikan bagaimana PMII meminta, mengumpulkan, kemudian menghabiskan. Ganti dengan, meminta, mengumpulkan, dan mengembangkan. Pundi-pundi PMII yang terkumpul dari sumbangan itu, hendaknya dikembangkan dalam bentuk koperasi, unit usaha, dan hal lain yang substansinya sama-sama mengembangkan. Unit maupun badan usaha harus dikelola menggunakan prinsip transparan, akuntable, dan professional. Bila perlu badan kelola ini siap diaudit oleh auditor independen terpercaya. Selama PMII untuk eksis masih tetap terus dalam lingkaran membuat proposal dana, meminta, mengumpulkan, kemudian menghabiskan, selama itu pula independensi PMII sekedar hanya akan menjadi slogan. PMII secara tersurat maupun tersirat, sulit berkilah untuk tidak melaksanakan kehendak teknis dari agenda yang dikehendaki politikus parpol, terlebih bagi mereka yang akan dan sedang berkuasa.

Dalam hal ini, sebagai aktivis PMII, saya pernah menginisiasi agar PMII, utamanya di tingkat rayon, benar-benar dapat mandiri. Tapi, inisiasi ini kalah menarik atas isu-isu politik praktis yang terlihat lebih wah dan cepat menjangkau kepraktisan hidup. Akhirnya dalam perjalanan waktu tergilas dan lenyap. Tapi saya tidak berhenti untuk menyuarakan ini. utamanya saat sedang didaulat sebagai pemateri diskusi, baik dalam acara pelatihan formal seperti Mapaba maupun PKD, atau kongkow biasa sambil merokok dan minum kopi.

Kemudian, untuk memperkuat tema tulisan ini. kebiasaan umum di PMII, mental big bos, senior selalu mentraktir junior, yang berlaku sejak rayon sampai PB, saatnya mulai diganti dengan, segala apa yang kita butuhkan dan itu sifatnya materi di organisasi, baiknya patungan sesuai kemampuan dari masing-masing diri. Biasakan menghidupi organisasi secara bersama-sama dengan patungan terbuka. Bila perlu, patungan itu yang dikelola untuk kemudian mendanai segala kegiatan organisasi yang berkaitan dengan dana operasionalisasi. Bangun kesepahaman jangan sampai ada dusta di antara kita. Jangan sampai terbangun, baik sifat maupun tindak yang siap menikam sebagaimana belati. Mental politisi mayoritas partai yang telah teruji kekejaman, kelicikan, dan kepicikannya itu jangan sampai menjangkiti apalagi menggerogoti organisasi mahasiswa yang lantang meneriaki diri sebagai agen of chage ini. organisasi inilah yang mestinya merubah haluan politik praktis parpol yang teruji bengis itu. Bukan malah turut ikut-ikutan bengis sebagaimana pola mayoritas politikus itu.

Mengapa saya mengajak agar mental big bos segera diganti?, karena mental big bos itulah yang turut memperpuruk kondisi PMII sebagaimana fenomena umum yang terjadi di partai politik. Saat senior terjepit dalam krangka pikir untuk terus mentraktir junior, maka senior yang tak tegas dan tak berani menjelaskan yang baik itu seperti apa, akan terus tertuntut dan bahkan mau melakukan segala macam cara untuk bisa mentraktir juniornya. Fenomena ini turut menyumbang kuat atas tindak korupsi, kulusi, dan nepotisme di republik berpenduduk 250 juta ini.

Mari bangun dan kembalikan PMII sebagaimana yang dicita-citakan para pendirinya. Bukan justru menjadi bagian yang turut andil dalam memperpuruk kondisi negeri. Masih kurang apa negeri yang telah hancur berkeping-keping ini, jika kita yang muda, justru menjadi pelanjut dari agenda penjajahan di republik yang presidennya kini bernama Jokowi.

Salam pergerakan!

Mari bergarak untuk memperbaiki, bukan sekedar berteriak atas nama perbaikan tapi tindakannya melacurkan organisasi.

* Kader PMII Rayon Syariah, Komisariat Sunan Ampel Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline