Lihat ke Halaman Asli

Memotret Keterlibatan Kiai dalam Politik Praktis di Madura

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Madura adalah suku bangsa yang memposisikan kiai sebagai panutan hidup sebagaimana nabi, karena kiai menempati posisi sebagai penerus para nabi. Kiai diposisikan sebagai patron hidup, lebih dari sekedar pemimpin formal sekelas bupati. Nilai-nilai kebaikan dan kepatutan di Madura, standarisasinya mengacu kepada yang diekspresikan kiai. Menjadi menarik saat kiai terjun dalam politik praktis. Baik berposisi sebagai juru kampanye sebagaimana pernah terjadi saat Orde Baru maupun terjun langsung sebagai politisi sebagaimana kini. Kepemimpinan eksekutif di Madura kini, tiga di antaranya kiai. Hanya Bupati Pamekasan; Achmad Syafii, yang tidak bergelar kiai. Tapi prosesnya saat mau menjadi Bupati, di-back up penuh  oleh barisan para kiai. Utamanya dari Pondok Pesantren Banyuanyar yang kesohor itu. Bupati Bangkalan; Makmun ibn Fuad yang tak lain adalah putra dari Fuad Amin Imron adalah kiai yang memiliki ketersambungan darah dengan Kiai Muhammad Kholil (1820-1925) yang sampai kini maqbaroh-nya diziarahi banyak orang karena diposisikan sebagai panutan umat. Bupati Sampang; Fannan Hasib, dan Bupati Sumenep; A. Busro Kariem semuanya bergelar kiai. Tapi saat para kiai ini menjadi Bupati, bukan prestasi yang dituai, malah sebagian dari mereka terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Mantan Bupati Bangkalan; Fuad Amin Imron, kini telah menjadi pesakitan di ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan tindak pidana korupsi. Kini sidang pembuktiannya di lembaga peradilan lagi sedang berlangsung.

Peran kiai sebagai bupati tapi miskin prestasi hanya menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Malah tidak sedikit di antaranya yang mem-bully melalui media sosial. Dakwahnya karena tidak didukung oleh prangainya sudah mulai ditinggalkan. Apalagi jelas-jelas bupati yang bergelar kiai ini sudah mulai bertindak ‘nakal’. Dengan melegalkan usaha sejenis diskotik yang terbuka di malam hari misalnya, maupun berfoto ala anak muda sambil melet-melet dengan menggunakan kacamata. Karismatika kiai menjadi semakin runtuh saat fenomena Fuad Amin Imron muncul ke permukaan. Dan menjadi hal yang mungkin, Fuad Amin-Fuad Amin lain akan menyusul kemudian. Mengingat, pergunjingan di masyarakat akan penyimpangan yang dilakukan oleh bupati bergelar kiai ini sudah hangat dan mulai menguat. Bila benar misalnya, Fuad Amin-Fuad Amin lain bermunculan, maka masyarakat Madura akan mulai kehilangan orang yang patut dijadikan sebagai panutan. Kiai yang disegani berganti menjadi kiai yang dicaci maki. Karena prilakunya sudah tidak patut dijadikan tuntunan.

Acep Zamzam Noor dalam buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring (2010) mengatakan, ‘’…seorang kiai bukan hanya guru, tapi ia juga sebagai pemimpin atas santri dan masyarakatnya. Jika kiainya baik dan alim, maka santri dan masyarakatnya akan terbawa baik dan alim juga. Namun, jika kiainya sibuk berpolitik praktis, jangan heran jika santri dan masyarakatnya akan menjadi broker dan provokator” (h. 16). Harapan agar masyarakat tentram dan rukun menjadi tidak mungkin tatkala kiai yang harusnya berdakwah berganti menjadi corong propaganda dan memicu disintegrasi di masyarakat. Hal ini menjadi mungkin saat kiai saling serang menggunakan ayat-ayat agama atas  kiai lain yang tidak sealiran dengan jalur politiknya.

Politik praktis bila ditekuni kiai tanpa penguasaan ilmu dan pemahaman yang utuh, justru akan semakin menjerembabkan posisi dan nilai tawarnya sebagai panutan di masyarakat. Memang, dalam sejarah, peran kiai dalam politik praktis banyak kita temui. Seperti perannya Kiai Hasyim Asy’ari (1875-1947) yang mengelorakan resolusi jihad dalam mempertahankan NKRI melawan penjajah, dan Kiai Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dua tokoh kiai ini karismatikanya tidak pernah memudar walau raganya telah membaur dengan tanah. Maqbaroh-nya sampai kini sering didatangi orang karena diyakini mengalirkan barokah.

Kiai yang akan terjun ke politik praktis, harus memiliki kedigdayaan bertanding yang cukup. Ia tidak boleh larut dalam arus politik yang saling mencekik, menghalalkan segala macam cara dalam meraih kekuasaan, terlibat KKN, dan saling sandera antara satu dan yang lain. Dalam berpolitik, kiai tetap harus menjadi suritauladan yang baik. Menerapkan politik kenegarawanan bukan sekedar kekuasaan. Bila kiai tak sanggup melawan arus politik yang distruk itu, jangan coba-coba masuk ke dalam politik praktis yang telah teruji kekejamannya itu. Baiknya, kiai tetap konsisten merawat pesatren dalam membekali santri menjadi pribadi yang baik dan tetap menjadi suritauladan yang baik kepada masyakaratnya dengan kata dan tindakannya yang harus selaras.

Kiai di pesantren, berjangka panjang. Tidak tentatif sebagaimana jabatan maupun gelar hasil politik praktis. Kiai dengan segala pengetahuannya bisa menempa santri menjadi politikus yang ulung, tanpa harus terjun langsung menjadi politikus ulung.

Saya sebagai santri, yang tahu betul bagaimana kiai, tolong jangan rusak, karisma, reputasi, dan drajad kiai yang luhur itu. Karena ia pelanjut para nabi, pembawa pesan kebaikan dan suri tauladan yang patut dijadikan tuntunan. Mari bersama, kiai yang masih belum cukup bekal untuk berpolitik praktis, kita dorong agar tetap konsisten meramut pesantren. Kecuali ia telah siap melawan arus politik praktis yang terkenal bengis itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline