Lihat ke Halaman Asli

Markus Lettang

Asisten Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta

Menelisik Ketentuan Pidana Dalam UU PKDRT

Diperbarui: 23 Juni 2024   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PikWizard

Dalam tulisan ini, Penulis akan menggunakan istilah tindak pidana, perbuatan pidana dan delik secara bergantian untuk mengidentifikasi 5 (lima) hal  berkaitan dengan rumusan tindak pidana dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hal pertama, konsekuensi yuridis delik aduan dan delik biasa; Kedua, mengungkapkan problematika konten pasal yang dapat berdampak buruk terhadap pelaksanaan/penegakan delik dalam konteks UU PKDRT; Ketiga, mengidentifikasi macam dan jenis tindak pidana; Keempat, Ketentuan Tentang Pemberatan Pidana. Lalu, Penulis akhiri dengan kesimpulan dan saran.

Implikasi Delik Biasa Dan Delik Aduan

Dalam doktrin hukum pidana, terdapat pembagian jenis delik (jenis tindak pidana/perbuatan pidana), antara lain, delik formil dan delik materil, delik omisi dan delik komisi, delik umum dan delik khusus, delik biasa dan delik aduan., dst

Jenis-jenis delik tersebut memiliki akibat yuridis yang signifikan dalam penerapannya. Misalnya, delik formal, jika terjadi suatu tindak pidana, cukup membuktikan bahwa subjek delik telah melakukan suatu perbuatan, yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana secara sempurna. Sebaliknya, konsekuensi yuridis delik materil, untuk mengatakan subjek delik (sasaran norma) telah melakukan tindak pidana, tidak cukup yang bersangkutan telah melakukan suatu perbuatan terlarang, tetapi harus dibuktikan pula bahwa perbuatan  tersebut telah menimbulkan suatu akibat tertentu (akibat terlarang).

Misalnya, delik Pasal 338 tentang tindak pidana pembunuhan. Untuk mengatakan terjadinya tindak pidana pembunuhan, maka harus ada fakta bahwa perbuatan subjek delik tersebut menimbulkan akibat matinya korban (fakta adanya mayat).

Apabila korban tidak mati/meninggal, meskipun nyawanya diujung tanduk, subjek delik a quo tidak dapat dipidana karena melakukan tindak pidana pembunuh berdasarkan pasal 338.

Kemungkinan yang dapat dikenakan adalah pertama, poging atau percobaan pembunuhan; kedua, penganiayaan (penganiayaan berat). Jadi, jika perbuatan subjek delik tindak menimbulkan kematian (fakta adanya mayat), subjek delik a quo hanya dimungkinkan dipidana karena melakukan pooging / percobaan pembunuhan dan penganiayaan.

Demikian pula konsekuensi yuridis delik biasa dan delik aduan. Jika suatu delik dirumuskan sebagai delik biasa, maka siapapun yang melihat, mendengar dan/atau mengalami adanya tindak pidana, memiliki legitimasi untuk melaporkan kepada pihak berwajib (polisi) untuk ditindak.

Sebaliknya, jika suatu delik dirumuskan sebagai delik aduan, berdasarkan prinsip hukum pidana, hanya korbanlah yang mempunyai legitimasi untuk mengadu kepada pihak berwajib. Selebihnya tidak berhak untuk mengadu (mengenai delik aduan ini dikecualikan terhadap delik yang dilakukan terhadap anak dan disabilitas: orang tua atau wali dapat mengadu kepada pihak berwajib).

Problematika Rumusan Pasal Yang Berdampak Pada Pelaksanaan (penegakan) Delik

Penulis kutip Rumusan Pasal 19 UU PKDRT sebagai berikut:

”Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.”

Rumusan atau konten Pasal a quo menimbulkan 2 problem, yakni: pertama, Fokus pada kalimat ” mengetahui atau menerima laporan.” Kalimat tersebut problematis. Hal mana kata mengetahui dan menerima laporan diselingi atau dipisahkan oleh tanda hubung disjungsi. Hal mana disjungsi berarti bahwa mengetahui sama artinya dengan menerima laporan. Padahal, konsep mengetahui dan konsep menerima laporan adalah dua hal yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline