Lihat ke Halaman Asli

Marjuni

Praktisi dan Pelaku Pendidikan Islam

Bagaimana Mungkin, Santri di Pesantren Modern Telah Menguasai Keterampilan Dasar Mengajar?

Diperbarui: 24 Januari 2023   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh Persiapan Mengajar Guru Praktik di Pesantren Modern (sumber: Kitab Tarbiyah Amaliyah I'dad Al-Ustadz K.H. Imam Zarkasyi Gontor)

"Bagaimana mungkin santri di pesantren telah menguasai keterampilan dasar mengajar?"

Pertanyaan di atas, relatif menggelitik sementara pihak yang meragukan kemampuan santri atas teori dasar dan praktik mengajar di kelas terbatas. Artikel ini hendak menjawab pertanyaan tersebut melalui eksplorasi kurikulum pesantren modern berbasis Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah (KMI dan Tarbiyatul Mu'allimin Al-Islamiyah (TMI). Pada bagian pertama tulisan ini yang berjudul: "Yang harus dibanggakan ...., yang telah dimuat  Kompasiana tanggal 23 Januari 2023.

Kurikulum KMI dan TMI yang dikenal masyarakat di beberapa pesantren modern seperti Gontor dapat disebut sebagai kurikulum standar dan telah diterapkan selama satu abad yaitu kurikulum Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah (KMI). Kurikulumnya terdiri dari 100% ilmu umum dan 100% ilmu agama. Dengan kata lain, ilmu agama dan ilmu umum tidak dapat dipisahkan. Semuanya adalah ilmu Islam dan bersumber dari Allah SWT. Kurikulum KMI tidak hanya terbatas pada sesi kelas, semua kegiatan di dalam dan di luar kelas merupakan bagian integral dari proses pendidikan. Model pesantren seperti Pondok Modern Darussalam Gontor sangat efektif dalam mengimplementasikan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Kurikulum tersembunyi Pondok Modern Darussalam Gontor mencakup semua aktivitas thalibul ilmi dari bangun tidur hingga tertidur kembali seperti ditulis oleh Hardoyo pada Jurnal At-Ta'dib UNIDA Gontor Vol 4, No 2 (2009)  http://dx.doi.org/10.21111/at-tadib.v4i2.590. Kurikulum tersembunyi memaksimalkan peran interaksi antar santri dalam empat bagian penting mereka, yaitu: generalisasi (setiap santri dididik dengan sistem kolegial), modeling (pemberian suri tauladan yang baik dan konsisten), Exemplification, yang artinya "apa yang dilihat, didengar, dilakukan dan dirasakan adalah bagian dari pendidikan itu sendiri" serta dan pendidikan berbasis reward and punishment

Sementara itu, untuk pesantren modern yang menyelenggarakan madrasah pada umumnya menerapkan kurikulum Transdisipliner Integratif Independen Curriculum (TIIC). ini merujuk pada hasil penelitian marjuni dan Ulwani dengan judul "Model Pengambilan Keputusan Perumusan Kurikulum Integratif Madrasah di Lingkungan Pesantren dalam Merespon KMA 183 dan KMA 184 Tahun 2019" yang telah dipublikasikan pada Jurnal EDUKATIF Vol 4, No 2 (2022) dengan link https://doi.org/10.31004/edukatif.v4i2.2052

Menurut teori Actor Networks Theory (ANT) Oleh Bruno Latour dalam 10.11594/baerj.01.01.04, bahwa relasi kuasa antara pesantren dan madrasah dapat menumbuhkan jiwa entrepreneurship (kewirausahaan). Perilaku stakeholder madrasah yang berbasis The Five "P" Strategy oleh warga madrasah dengan cara mengoptimalkan resiko, berinovasi memanfaatkan peluang, mengambil tanggung jawab pribadi dan mengelola perubahan di lingkungan madrasah secara dinamis, efektif dan efisien menjadi prasyarat untuk menciptakan budaya kewirausahaan di Madrasah. Jiwa   wirausaha ini dipandang turut menjadi stimulus utama yang membentuk mental santri dalam menghadapi segala persoalan hidup di pesantren, termasuk di dalamnya menghadapi tantangan amaliyah Tadris (micro-teaching). 

Pelaksanaan microteaching atau Amaliyah Tadris, keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan bertanya, keterampilan menjelaskan, keterampilan penguatan, keterampilan mengelola kelas, dan keterampilan diskusi kelompok kecil serta keterampilan individu sangat baik dan efektif dalam meningkatkan keterampilan mengajar calon guru. Disamping itu, micro-teaching juga dapat meningkatkan rasa percaya diri yang tinggi pada diri santri. Melalui kegiatan micro teaching,santri tidak hanya memperoleh pengetahuan dan pengalaman mengenai mengajar, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan dampak pendidikan karakter atau kepribadian. Peningkatan karakter pada santri melalui micro teaching adalah karakter disiplin, tanggung jawab, kreatif, dan mandiri.

Menurut Gontor, guru harus memiliki Kemampuan akademis, teknis operasional maupun sikap yang terangkum dalam lima belas tanda kompetensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa santri merasa takut untuk presentasi di depan teman dan musyrif (guru pembimbing) pada saat pertama kali presentasi karena tidak memiliki pengalaman sebelumnya. Sedangkan pada penampilan kedua upayanya untuk menunjukkan penampilan terbaiknya, seperti menyiapkan modul pengajaran (i'dad tadris) dan gaya yang lebih baik dalam membuka dan menutup kelas, tampak lebih baik. Mereka merasa lebih nyaman dalam latihan di kelas dan tampil profesional di depan teman sekelasnya. Para santri merasa bahwa kelas microteaching memungkinkan mereka untuk menilai kekuatan dan kelemahan mereka dalam mengajar dan saran dari musyrif (tutor) dan teman sebayanya (muntaqid) juga berpengaruh positif untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Mayoritas siswa bersikap positif terhadap penggunaan microteaching dalam hal keefektifannya untuk pengembangan profesional, evaluasi diri, kepercayaan diri, produktivitas materi, dan keterampilan bahasa Arab dan bahasa Inggris. 

Dalam paradigma kurikulum KMI dan TMI di pesantren modern, bahwa santri akhir kelas VI dipandang sebagai calon guru. Untuk itu, para calon guru harus memperoleh berbagai pengalaman dan kompetensi dari micro teaching dan sebagian besar dari mereka memiliki sikap positif terhadap micro teaching sebagai teknik pelatihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline