Kesenangan tidak selamanya kebahagiaan
Pujian tidak berarti kejayaan
Sedihku adalah prestasiku
Bait kalimat diatas memberikan secercah cahaya dalam hidup seorang anak lulusan Sekolah Dasar (SD). Sebut saja namanya Juki. Ia merupakan seorang anak yang memiliki kemampuan akademik terbaik. Selama enam tahun di bangku sekolah dasar (SD) ia berhasil meraih ranking satu (1) , ranking dua (2) tiga kali dan ranking enam (6) sekali. Semua prestasi itu ia dapatkan dengan etos belajar yang luar biasa. Bahkan hari-harinya tidak pernah sepi dari buku pelajaran. Kebiasaan tersebut dilakukannya dengan istiqomah sampai ia lulus.
Ketika waktu kelulusan tiba, anak-anak mulai menunjukkan sekolah menengah pertama yang ia tuju. Ada yang menyampaikan akan melanjutkan jenjang sekolah negeri dan ada juga yang melanjutkan jenjang sekolah swasta. Sekolah negeri merupakan jenjang yang paling bergengsi saat itu. Bahkan untuk masuk sekolah negeri para orang tua siap mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar putra-putrinya diterima di sekolah tersebut.
Juki yang berasal dari keluarga menengah kebawah memilij melanjutkan jenjang swasta yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs). Juki memahami kondisi ekonomi keluarganya yang memang bukan golongan orang yang mampu. Ketika juki menyampaikan pada teman-temannya tentang tujuan sekolahnya ada seorang anak putri yang mengatakan dengan nada mengejek dan seakan meremehkan.
"sekolah madrasah ape dadi opo, paling Cuma dadi modin"
(sekolah di Madrsah Tsanwiyah mau jadi apa, paling Cuma bisa jadi Imamuddin (orang yang tugasnya mengurusi kematian, majlis taklim dan jamaah lain di desa)"
Begitulah kira-kira uacapan anak putri tersebut. Begitu membuat hati juki merasa tidak enak karena merasa bahwa niatnya melanjutkan sekolah hanya dipandang sebelah mata. Maklum saat itu madrasah tasanawiyah merupakan sekolah buangan. Artinya siswa yang tidak diterima di sekolah negeri barulah mereka mendaftar di madrasah tsanawiyah.
Mari kita cermati dialog berikut :
Negeri : mau disekolahkan dimana buk anaknya?