Lihat ke Halaman Asli

Siti Mariyam

(Pe)nulis

Buta: Aku yang Tidak Tahu Diri

Diperbarui: 6 Maret 2024   22:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Picture by Bing.com & Canva

          Hai, gue Tyo Dwi Mahendra, anak kedua yang dilahirkan setelah kakak gue dari seorang wanita hebat di dunia ini yang kami panggil dengan sebutan 'ibu'. Gue merasa jadi anak yang beruntung karena memiliki keluarga yang utuh dan kehidupan yang cukup. Saat gue naik kelas 3 SMP, pekerjaan ayah dipindahkan ke luar kota sehingga mengharuskan ibu ikut untuk menemaninya di sana.

         Semenjak itu, gue hanya tinggal berdua dengan Kak Tyco sampai sekarang gue kelas 2 SMA dan ia mau lulus kuliah. Ibu dan ayah mengirimi kami uang setiap bulannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing melalui kartu ATM yang sudah disiapkan untuk gue dan Kak Tyco. Uang bulanan yang kami terima selalu cukup dan kami pun tidak pernah merasa kurang, karena kami bisa mengatur uang yang akan dikeluarkan dan hanya dibelanjakan untuk yang sesuai dengan kebutuhan kami, bukan keinginan.

        Setiap bulan gue dan Kak Tyco selalu belanja ke supermarket membeli bahan makanan untuk sehari-hari. Yang paling utama kami beli adalah mie instan, karena dimasaknya sangat mudah. Tapi, jangan khawatir, kami juga membeli beras, kok, dan penunjang 4 sehat 5 sempurna lainnya. Lambung ini bisa keriting kalau makan mie setiap hari. Hehehe. Pokoknya, kami tidak pernah kekurangan meskipun tanpa ada orang tua di rumah, karena mereka sudah menjamin akan kehidupan kami.

          Walaupun jauh, kami sering berkomunikasi dengan ayah dan ibu melalui video call. Yang lebih sering menghubungi kami duluan biasanya ibu, sih, ayah hanya ikutan aja. Menanyakan kabar, sudah makan dan makan apa aja, sekolahnya bagaimana dan lain sebagainya yang pasti setiap orangtua tanyakan saat jauh dari buah hatinya.

          Ibu dan ayah belum mengetahui keadaan gue yang sekarang ini, gue dan Kak Tyco sepakat untuk tidak memberitahu masalah ini, karena kami tidak ingin membuat mereka sedih dan mengganggu ketenangan bekerjanya di sana. Gue yakin ibu pasti sangat sedih jika mengetahui anaknya ini kehilangan pengelihatannya. Lagipula, selama ini gue baik-baik aja, kok, karena ada kakak yang selalu siap membantu.

          By the way, kita flash back sebentar tidak apa-apa, kan? Gue pengin sedikit cerita tentang masa kecil dulu bersama kakak gue. Kalau diingat-ingat dan dipikir-pikir, gue jadi malu banget sama Kak Tyco. Bahkan gue pernah tidak berani menampakkan diri di depan dia, karena sangat malunya dan merasa bersalah juga, sih.

          Dulu gue pernah bertanya pada Kak Tyco kenapa ia dipanggil dengan sebutan 'kakak'? Padahal, 'kakak' itu dipakai untuk panggilan kakak perempuan, kan? Dan juga identik dengan perempuan, walau tidak menutup kemungkinan laki-laki pun bisa dipanggil 'kakak'. Gue merasa aneh aja memanggil saudara laki-laki gue dengan sebutan itu, karena teman-teman gue di sekolah tidak ada yang memanggil kakak laki-lakinya dengan sebutan 'kakak'.

         "Kak, kenapa lo dipanggil 'kakak', sih?" tanya gue kala itu saat kami sedang bersantai, ia bermain game dan gue menonton TV. Kami bersebelahan.

          "Karena gue kakak lo, lah," jawab ia yang masih sibuk bermain gamenya.

          "Bukan... kenapa harus dipanggilnya 'kakak'? 'kakak' bukannya panggilan buat kakak perempuan, ya?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline