Sampai pada akhirnya hari ujian nasional pun tiba. Di saat-saat seperti itu yang membuat hubungan kami semakin menjauh. Aku menjadi sendiri dan kesepian, juga kini melakukan sesuatu dengan sendiri, karena kakak tidak ada lagi untuk membantuku. Sebenarnya masih ada ibu yang siap membantuku, tapi entah kenapa aku tidak mau dibantu oleh ibu, hanya mau dibantu olehnya.
Selagi kakak menghadapi ujian nasional, aku hanya bisa berdoa untuknya setiap malam agar ia bisa dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku yakin ia bisa menjawab dengan baik, meski kondisinya terbatas, tapi pikirannya tidak. Contohnya ia selalu membantuku dalam mengerjakan PR di saat aku kesulitan mengerjakannya, saat kami melaksanakan ujian semester pun ia membantuku. Bukan membantu memberi jawaban ya. Aku tidak menyangka akan seruang, bahkan duduk semeja dengannya.
Setiap kali guru yang datang mengawasi ruang kami, pasti perhatiannya tertuju pada kami, melihat wajah kami yang hampir mirip dan nama belakang kami yang sama. Ia juga selalu masuk tiga besar di kelas, terkadang menjadi juara di kelasnya, mengalahkan teman-temannya yang suka mengganggunya. Sebab itulah yang membuatku yakin ia akan bisa mengerjakan ujiannya.
Aku memilih tidak ke luar kamar selama kakak tidak ada di rumah, sampai-sampai aku tidak minum dan makan. Sebenarnya ibu menawarkan minum dan makan padaku, tapi aku selalu bilang untuk menunggu kakak pulang dari sekolah. Pernah aku mencoba mengambil minum sendiri, tapi belum sampai dapur aku sudah terjatuh karena menabrak sekeliling.
Mulai saat itu aku tidak lagi melakukan apa-apa sendiri, karena takut akan terjatuh lagi. Tapi jika aku terus menerus mengasumsi akan terjatuh, sampai kapanpun aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan sendiri. Kapan aku mandirinya kalau masih mengharapkan dibantu orang lain?
***
Hingga ujian kakak yang memasuki hari kedua, aku tetap menahan rasa haus di tenggorokan. Jika menunggu ia pulang aku pasti kehausan. Aku memutuskan untuk mengambil minum sendiri tanpa bantuannya. Perlahan-lahan aku membuka pintu kamar dan mengeluarinya. Aku mengarahkan tongkat penunjuk jalan yang memudahkanku melangkah ke depan. Sesekali tanganku meraba-raba di sekeliling agar aku bisa lebih tahu sudah sampai mana aku berjalan.
Dengan usahaku sendiri, akhirnya aku sampai di dapur tanpa terjatuh. Aku kembali meraba-raba sekeliling untuk mencari gelas. Sampai akhirnya..
"Prrraaannnggg!"
Tidak sengaja aku menjatuhkan gelas yang seharusnya dipakai untuk mengambil air minum. Aku langsung mencoba membersihkan pecahan gelas itu karena takut ibu akan mengetahuinya.
Di saat aku meraba-raba lantai untuk mencari pecahan gelasnya, tidak sengaja tanganku terkena pecahan itu. Aku berteriak kesakitan, dan menutupi luka yang ada di jari tanganku dengan baju. Mendengar teriakkanku yang kesakitan, ibu datang menghampiriku.