Lihat ke Halaman Asli

Mariya

Happy Teacher

Kreativitas di Balik Serangan Si Tak Kasat Mata

Diperbarui: 12 Desember 2020   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa dunia akan mengalami pandemi seperti ini. Saya yakin, bahwa setiap orang tidak akan pernah bermimpi dan berangan berada dalam situasi dan kondisi seperti saat ini, khususnya kami sebagai seorang pendidik anak usia dini.

Semenjak berita merebaknya virus Corona pertama kali di negeri Cina akhir tahun 2019 lalu, tepatnya di kota Wuhan. Dalam hati kecil terbersit pertanyaan "Bagaimana kalau virus itu sampai ke Indonesia?", namun disisi hati yang lain mencoba membantah, "Tidak mungkin sampai ke negeri ini, toh jarak negara Cina-Indonesia jauh sekali". Begitulah pemikiran sederhana yang coba saya pahamkan pada diri, karena ada ketakutan yang luar biasa jika virus tersebut benar-benar merebak hingga ke Indonesia.

Namun Tuhan punya  rencana, virus tak kasat mata itu tidak hanya lahir di negeri Cina, namun Ia mampu berkeliling ke seluruh belahan bumi ini. Kehadirannya benar-benar melumpuhkan segala aspek kehidupan manusia. Dari sektor hubungan antar manusia (harus menjaga jarak setidaknya 1,5 meter) hingga sektor pendidikan dan perekonomian di seluruh belahan bumi termasuk negeri tercinta ini.

Seperti baru dibangunkan dari tidur, setengah sadar, kami para pendidik dituntut mengubah haluan pembelajaran. Dari yang bertatap muka di sekolah, harus beralih ke pembelajaran secara virtual. Dimana biasanya saya sebagai pendidik anak usia dini, setiap pagi bisa bersalaman dan memeluk anak-anak secara langsung, lalu dihadapkan dengan pertemuan dibalik layar, tanpa bisa menyentuh secara langsung. Bahkan susunan program-program pembelajaran harus ditelaah ulang demi menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

Saya pribadi sempat shock dan stres diawal-awal  pembelajaran jarak jauh ini. Karena harus melakukan banyak perubahan dan penyesuaian dalam pengajaran. Segala ide kreatif pembelajaran offline harus saya gantungkan dahulu, dan memikirkan lagi ide-ide kreatif  untuk pembelajaran online waktu itu.

Namun ternyata bukan hanya kami para guru yang mengalami stres dan membutuhkan adaptasi. Orang tua dan anak didik pun  mengalaminya.

Pada tiga bulan awal pembelajaran jarak jauh ini ditetapkan, hampir setiap pagi orang tua mengeluhkan anaknya yang mengalami morning sick. Mereka menangis dan ngambek  karena ingin bersekolah. Mereka tidak mau bersekolah via HP ataupun laptop. Karena bagi mereka, bersekolah itu memakai seragam, bermain dan belajar di sekolah bersama guru dan teman-temannya.

Hampir setiap pagi juga saya mendapat telepon dari orang tua untuk membujuk dan memberi pengertian pada anaknya, bahwa belum boleh pergi ke sekolah.

Antara mudah dan sulit dalam membujuk dan memberi pengertian pada mereka yang masih berusia dini, sebagian cepat paham, namun sebagian lagi tetap kukuh pada pendiriannya hingga menangis tantrum.

Saya memahami perasaan mereka, bukan saja mereka yang masih polos dalam berpikir, kami para guru pun kadang sulit menerima kondisi pembelajaran seperti ini.

Namun kami para guru, khususnya saya, harus melawan ini semua, melawan keegoisan yang ada dalam diri ini, melawan segala pemikiran yang keliru. Saya harus bangkit dan tetap memberikan pembelajaran terbaik yang menarik sehingga anak didik pun akan senang dengan pembelajaran jarak jauh yang masih sangat baru bagi kita semua. Show Must Go On…

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline