Kenaikan pajak selalu menjadi isu yang memancing polemik. Tak hanya menyangkut beban masyarakat, tapi juga menjadi panggung politik yang kerap dimanfaatkan partai-partai untuk mendulang dukungan. Salah satu isu yang sedang hangat adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan berlaku tahun 2025.
Wacana ini kembali mencuat setelah Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto, menyatakan bahwa kenaikan PPN ini diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP) melalui Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). "Kenaikan PPN 12 persen itu merupakan keputusan UU Tahun 2021 dan menjadi 11 persen pada 2022, hingga 12 persen pada 2025. Ini diinisiasi oleh PDIP," ujarnya, Minggu (22/12).
Namun, kini PDIP berbalik arah dan terlihat seperti menentang kebijakan yang sebelumnya mereka usulkan. Sikap ini mengundang kritik dan menyoroti bagaimana partai politik sering memanfaatkan isu pajak untuk agenda politik mereka.
Proses Pembuatan UU dan Tanggung Jawab Partai Politik
Sebagai undang-undang, kenaikan PPN tentu telah melalui proses legislasi yang melibatkan DPR dan pemerintah. Proses ini seharusnya dilakukan dengan pertimbangan matang dan profesional, mengingat dampaknya yang luas bagi masyarakat. Partai-partai yang terlibat dalam penggodokan UU ini memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk konsisten dengan keputusan yang telah mereka setujui.
Namun, kenyataannya sering kali berbeda. Saat kebijakan itu mulai diterapkan dan mendapat kritik masyarakat, beberapa partai memilih "cuci tangan" demi menjaga citra. Padahal, sebagai wakil rakyat, mereka seharusnya menjelaskan manfaat dan urgensi kebijakan tersebut kepada masyarakat, bukan malah memperkeruh suasana dengan sikap kontradiktif.
Pemerintah dan Implementasi yang Bijak
Di sisi pemerintah, kebijakan ini berada di tangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Setelah mendapat banyak kritik, penerapan PPN 12 persen akhirnya dibatasi hanya untuk barang mewah. Langkah ini dapat meredam sebagian kritik, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan keresahan masyarakat.
Kenaikan PPN memang memiliki dampak domino. Selain menaikkan harga barang dan jasa, beban pajak ini juga memengaruhi daya beli masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa penerapan pajak ini benar-benar digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar untuk menutupi defisit anggaran akibat kebocoran seperti korupsi.
Korupsi dan Ketidakpercayaan Publik
Isu korupsi menjadi salah satu alasan utama mengapa masyarakat skeptis terhadap kenaikan pajak. Data Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 berada di angka 34, jauh dari kategori bersih. Dengan kondisi ini, wajar jika masyarakat mempertanyakan ke mana uang pajak mereka akan digunakan.