Setelah lebih dari satu dekade perang saudara, rezim Bashar al-Assad akhirnya tumbang. Peristiwa ini menandai babak baru dalam sejarah politik Suriah dan Timur Tengah.
Namun, kejatuhan Assad tidak serta-merta membawa kedamaian, melainkan memunculkan pertanyaan baru tentang stabilitas kawasan dan dampaknya bagi dunia, termasuk Indonesia.Sejarah Perang Saudara Suriah dan Kebangkitan Demokrasi di Timur Tengah
Perang saudara di Suriah bermula dari demonstrasi damai pada 2011 yang terinspirasi oleh Arab Spring---gelombang protes demokrasi yang mengguncang dunia Arab.
Protes ini menuntut kebebasan politik dan penghapusan otoritarianisme di Suriah. Namun, Assad merespons dengan kekerasan brutal, memicu eskalasi konflik menjadi perang saudara.
Dalam beberapa tahun, Suriah menjadi pusat kekacauan dengan banyak aktor terlibat. Pemerintah Assad mendapat dukungan dari Rusia dan Iran, sementara oposisi dibantu oleh AS dan beberapa negara Teluk.
Situasi diperumit dengan munculnya kelompok-kelompok militan seperti ISIS, yang menambah dimensi sektarian dan ideologis dalam konflik ini.
Negara yang Terpengaruh dan Guncangan Politik Timur Tengah
Arab Spring tidak hanya berdampak pada Suriah tetapi juga mengubah dinamika politik di Mesir, Libya, Tunisia, dan Yaman. Namun, semangat demokrasi itu banyak yang kandas.
Di Mesir, misalnya, pemerintahan sipil hasil Arab Spring digulingkan oleh kudeta militer. Libya tenggelam dalam perang saudara, dan Yaman menghadapi intervensi asing.
Suriah menjadi episentrum konflik yang paling kompleks, dengan implikasi geopolitik melibatkan kekuatan global. Iran, sebagai sekutu utama Assad, memanfaatkan konflik untuk memperluas pengaruhnya.