Pilkada Serentak 2024 menjadi ajang pembuktian pengaruh politik dua nama besar di Indonesia: Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski Jokowi masih menjadi kader PDIP, karena belum ada secara formal keluar dari PDIP, dinamika politik belakangan ini menunjukkan adanya potensi gesekan antara keduanya. Jokowi terlihat "all out" mendukung calon kepala daerah yang dipercaya mampu meneruskan program dan visi pembangunannya, sementara PDIP memilih jalurnya sendiri dengan mengusung kader atau calon lain yang dianggap lebih sejalan dengan ideologi partai.
Pertanyaannya, siapa yang lebih berpengaruh? Dan bagaimana kompetisi ini mencerminkan lanskap politik Indonesia ke depan?
Jokowi dan Strategi Dukungan Langsung
Jokowi tidak hanya mendukung secara simbolis, tetapi turun langsung ke lapangan. Di Jawa Tengah, ia terlihat aktif berkampanye untuk Luthfi, yang didukung koalisi partai KIM dan di Jakarta, Jokowi juga mendukung Ridwan Kamil (RK) sebagai cagub dukungan koalisi partai KIM, kandidat yang bukan berasal dari PDIP. Langkah ini memicu spekulasi bahwa Jokowi ingin menjaga keberlanjutan program pembangunan, terutama di Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek infrastruktur lainnya, yang membutuhkan figur kepala daerah dengan rekam jejak teknokratis seperti RK.
Ridwan Kamil, yang dikenal sebagai kepala daerah dengan pendekatan inovatif, dianggap sebagai sosok yang mampu mengimbangi kebutuhan Jokowi akan kesinambungan program di Jakarta. Selain itu, langkah Jokowi ini juga dianggap sebagai sinyal untuk memperluas pengaruh politiknya di luar struktur formal PDIP.
PDIP dan Loyalitas Ideologis
Di sisi lain, PDIP tetap konsisten dengan garis ideologisnya, memilih kader seperti Pramono Anung untuk Jakarta. Langkah ini bukan hanya soal memenangkan kontestasi politik lokal, tetapi juga mempertahankan identitas partai sebagai kekuatan politik yang independen dari figur Jokowi. Dalam konteks ini, Pilkada menjadi ajang pembuktian siapa yang lebih mampu menarik simpati rakyat---Jokowi dengan dukungannya yang "berorientasi pembangunan," atau PDIP dengan mesin partai yang sudah mapan.
Menariknya, PDIP dukungannya dari Anies Baswedan yang notabene punya pengikut dengan ideologi yang berbeda dari PDIP, dan kini Anies mendukung Pramono dan Rano Karno di Jakarta. Dukungan Anies menambah kompleksitas persaingan, terutama karena ia memiliki basis massa sendiri yang loyal, meski belum sepenuhnya terintegrasi dalam kontestasi partai-partai besar.
Mengapa Jokowi dan PDIP Berselisih Arah?
Meski Jokowi berasal dari PDIP, perbedaan prioritas politik terlihat semakin tajam. Jokowi cenderung pragmatis, mendukung figur yang mampu merealisasikan program pembangunan dalam waktu dekat. Sebaliknya, PDIP berfokus pada loyalitas kader dan konsistensi ideologis untuk mempertahankan hegemoni politiknya dalam jangka panjang.
Selain itu, Pilpres 2024 juga menjadi latar belakang ketegangan ini. Jokowi tampak mulai mempersiapkan jalan politiknya pasca-presidensi, yang mungkin melibatkan membangun koalisi baru atau memperkuat pengaruh personalnya. PDIP, sebagai partai pemenang Pemilu 2024, tentu tidak ingin kehilangan dominasi politik yang telah mereka nikmati.
Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Publik