Dalam beberapa dekade terakhir, sektor tekstil Indonesia menghadapi tantangan yang tak terhindarkan. Dulunya merupakan komoditas andalan, industri tekstil kini kian merosot, tak lagi mendominasi pasar seperti dahulu.
Padahal, kontribusinya pada perekonomian Indonesia tidak bisa dianggap enteng: sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja dan menjadi sumber devisa yang cukup signifikan.
Berdasarkan data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), industri tekstil menyumbang sekitar 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sektor manufaktur dan memberikan lapangan kerja bagi sekitar 2,8 juta pekerja.
Namun, kejayaan itu kini terancam. Salah satu pemain besar di industri ini, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan Sritex, baru-baru ini dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Ini merupakan kabar buruk bagi perekonomian nasional, mengingat Sritex adalah salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, yang mempekerjakan puluhan ribu pekerja. Keputusan pailit yang diambil oleh pengadilan adalah dampak dari lilitan hutang yang tidak bisa lagi ditanggung oleh perusahaan tersebut, yang di masa kejayaannya mampu mengirim produknya ke lebih dari 100 negara di dunia.
Apa yang Menyebabkan Sritex dan Pabrik Tekstil Lain Tersungkur?
Ada beberapa faktor krusial yang menyebabkan kemunduran industri tekstil nasional, dan kebanyakan berasal dari kondisi eksternal dan internal yang semakin memperberat pelaku industri:
Persaingan dengan Produk Impor
Meningkatnya produk tekstil impor dari negara seperti Tiongkok dan Bangladesh telah menekan harga dan pasar domestik. Produk-produk impor ini sering kali lebih murah, membuat pabrik-pabrik lokal sulit bersaing di pasar domestik, yang juga berdampak pada penurunan ekspor.
Biaya Produksi yang Tinggi
Industri tekstil di Indonesia menghadapi tantangan biaya produksi yang relatif tinggi, mulai dari upah tenaga kerja, harga energi, hingga biaya bahan baku. Harga gas industri misalnya, yang kerap kali lebih tinggi dibandingkan negara lain, meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Kebijakan yang Tidak Pro-Bisnis
Kebijakan yang kurang mendukung pelaku industri, seperti pajak tinggi untuk bahan baku impor, kebijakan tenaga kerja yang kaku, serta minimnya insentif bagi industri tekstil, turut memperburuk kondisi. Dampaknya, banyak perusahaan tekstil yang memilih mengurangi produksi atau bahkan gulung tikar.
Pandemi COVID-19
Pandemi yang berkepanjangan juga memukul keras sektor ini. Turunnya permintaan akan produk tekstil baik dalam maupun luar negeri membuat banyak perusahaan mengalami kerugian, sehingga beban utang mereka semakin bertambah.