Lihat ke Halaman Asli

Marius Gunawan

Profesional

Naik Kereta Sejuta Makna: Sebuah Pengalaman Tak Terduga

Diperbarui: 23 Oktober 2024   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, kalau ada yang bilang, "Mau liburan ke Jogja naik apa?" kami sekeluarga pasti kompak menjawab, "Pesawat!" Alasannya simpel: nggak mau ribet. 

Tapi suatu ketika, anak saya yang kala itu masih kecil dengan matanya yang berbinar penuh harap, tiba-tiba meminta, "Yah, aku pengen naik kereta api!" Lho, kok kereta? 

Saya, yang selama ini nyaman naik pesawat, langsung terbayang berbagai skenario: perjalanan panjang, kursi keras, kamar mandi kotor, hingga penumpang yang berdesak-desakan. Waduh, gimana kalau anak saya nanti malah rewel? Tapi, demi melihat senyum di wajahnya, apa boleh buat, mari coba kereta!

Masalah pertama muncul: beli tiket di mana? Ini jujur, saya clueless. Untungnya, seorang teman bilang, "Beli tiket di minimarket aja!" Hah? Bisa?

 Saya pun mencobanya. Dan benar saja, ternyata sangat mudah. Cuma perlu bilang ke kasir mau ke mana, kapan, dan pilih kursi mana, voila,  tiket di tangan! Saya masih kagum betapa simpel prosesnya---nggak beda jauh sama beli kopi sachet.

Hari keberangkatan tiba. Kami sampai di Stasiun Gambir satu setengah jam sebelum jadwal. Waktu yang cukup untuk melihat-lihat suasana stasiun yang ternyata nggak semenakutkan rumor yang beredar. 

Stasiunnya bersih, penumpang tertib, dan suasananya cukup nyaman. Mulai muncul rasa optimis, mungkin perjalanan ini nggak akan seburuk yang saya bayangkan.

Ketika waktunya tiba, kami masuk ke gerbong eksekutif yang sesuai dengan tiket. Wow, saya langsung terkesan! 

Kursinya empuk, ada pendingin udara, dan kebersihan terjaga. Saya pikir, "Ini lebih baik dari yang saya kira!" Saya duduk, rileks, dan mulai menikmati perjalanan, sementara anak saya sudah lompat-lompat kegirangan melihat pemandangan dari jendela.

Kalau bicara soal pemandangan dari jendela kereta, itu seperti nonton film dengan layar panorama alam yang tak pernah berhenti. 

Hamparan sawah hijau, sesekali terlihat petani yang sedang bekerja, hingga desa-desa kecil dengan rumah-rumah tradisional. Rasanya seperti nonton film dokumenter, tapi versi 4D---ada getar, angin, dan suara klakson kereta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline