Dalam pidato perdananya setelah dilantik sebagai Presiden, Prabowo Subianto menyampaikan visi yang sangat jelas: subsidi yang diberikan oleh pemerintah harus sampai langsung ke tangan mereka yang benar-benar membutuhkan. Ini bukan sekadar retorika politik, tetapi panggilan untuk reformasi fundamental dalam kebijakan subsidi di Indonesia.
Prabowo menekankan bahwa subsidi pemerintah selama ini kerap bocor dan tidak tepat sasaran, sehingga masyarakat yang benar-benar memerlukan justru terabaikan."Semua subsidi, bantuan kepada rakyat kita yang masih dalam keadaan susah, harus kita yakini sampai kepada mereka yang membutuhkan," tegas Prabowo. Ia menambahkan bahwa dengan teknologi digital, pemerintah bisa lebih mudah memastikan bahwa setiap keluarga yang membutuhkan mendapatkan bantuan tersebut.
Tantangan Subsidi: Persoalan yang Sudah Lama Mengakar
Masalah kebocoran dan ketidaktepatan sasaran subsidi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Berbagai jenis subsidi, seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan pangan, sering kali tidak mencapai kelompok yang paling rentan. Sebaliknya, subsidi tersebut justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang seharusnya tidak mendapatkannya. Subsidi BBM, misalnya, telah menjadi polemik yang tak kunjung selesai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023, sekitar 60% dari subsidi BBM dinikmati oleh kelompok 20% masyarakat terkaya. Padahal, tujuan utama subsidi ini adalah untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah menghadapi harga energi yang tinggi.
Contoh lain adalah subsidi listrik. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2022 menunjukkan bahwa hampir 25% dari subsidi listrik dinikmati oleh pelanggan rumah tangga menengah ke atas yang memiliki daya listrik 900 VA atau lebih. Ini jelas menunjukkan adanya ketidaktepatan sasaran dalam distribusi subsidi.
Kenapa Masih Ada Masalah dalam Distribusi Subsidi?
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masalah dalam distribusi subsidi, di antaranya:
1. Kelemahan dalam Pendataan
Sistem pendataan yang belum optimal membuat pemerintah kesulitan menentukan siapa yang benar-benar layak menerima subsidi. Meski telah ada program berbasis data seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), banyak data yang usang dan tidak valid, menyebabkan kelompok yang seharusnya tidak mendapatkan bantuan justru terdaftar sebagai penerima subsidi.
2. Kurangnya Pemanfaatan Teknologi
Dalam pidatonya, Prabowo menekankan pentingnya teknologi digital sebagai solusi untuk memastikan subsidi sampai kepada yang berhak. Saat ini, distribusi bantuan masih bergantung pada mekanisme manual yang rentan terhadap korupsi dan inefisiensi. Padahal, dengan pemanfaatan teknologi big data dan artificial intelligence (AI), pemerintah dapat mengidentifikasi dengan lebih akurat kelompok-kelompok rentan.
3. Pengawasan yang Lemah
Pengawasan terhadap aliran dana subsidi sering kali tidak ketat, menyebabkan kebocoran yang meluas. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada 2022 terdapat indikasi kerugian negara hingga triliunan rupiah akibat subsidi yang tidak tepat sasaran.
Solusi Prabowo: Reformasi dan Teknologi Digital