Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menunjukkan tekadnya untuk terus bekerja, selaras dengan motonya "kerja, kerja, kerja." Meski hari-harinya di Istana Negara tinggal menghitung waktu, Jokowi tetap memandang pemberantasan korupsi sebagai prioritas nasional yang mendesak. Korupsi adalah musuh terbesar bangsa yang telah menggerogoti fondasi pembangunan dan kepercayaan publik selama bertahun-tahun.
Dalam langkah terbarunya, Jokowi resmi membentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di bawah Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sebuah terobosan yang diharapkan memperkuat upaya negara dalam memberantas kejahatan luar biasa ini.
Mengapa Korps Anti-Korupsi Polri Diperlukan?
Pemberantasan korupsi di Indonesia telah lama menjadi tugas utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kredibilitas dan efektivitas KPK semakin dipertanyakan. KPK mengalami berbagai tantangan, baik dari segi eksternal, seperti tekanan politik, maupun internal, termasuk isu kepemimpinan yang kontroversial dan penurunan dukungan publik.
Hasilnya, kepercayaan masyarakat terhadap KPK jatuh drastis. Survei terbaru menunjukkan bahwa dukungan terhadap KPK menurun hingga titik terendah dalam sejarah lembaga tersebut. Dengan keadaan ini, jelas bahwa mengandalkan KPK saja tidak cukup untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung telah menunjukkan peran aktif dalam penegakan hukum terkait korupsi. Kasus-kasus besar seperti dugaan korupsi di Kementerian Komunikasi dan Informatika, pengelolaan gas metan, hingga kasus tambang timah menjadi sorotan penegakan hukum yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Polri, yang juga memiliki peran penting dalam penegakan hukum, sering kali dianggap belum optimal dalam menangani kasus-kasus korupsi besar.
Melihat tantangan ini, Jokowi memutuskan untuk membentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di bawah Polri. Keputusan ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2024, yang secara resmi memberi mandat kepada Polri untuk mendirikan unit khusus ini. Tujuannya adalah memperkuat kemampuan Polri dalam menangani kasus-kasus korupsi, mempercepat proses hukum, dan mendukung upaya pemberantasan korupsi yang lebih menyeluruh di Indonesia.
Tantangan Kolaborasi Antar-Institusi
Pembentukan korps baru ini memunculkan harapan akan adanya sinergi yang lebih kuat antara lembaga penegak hukum di Indonesia. Namun, sejarah menunjukkan bahwa koordinasi antar-institusi seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung tidak selalu berjalan mulus. Salah satu contoh paling mencolok adalah kasus "Cicak vs Buaya," di mana terjadi konflik terbuka antara KPK dan Polri yang memicu ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga tersebut. Konflik semacam ini harus dihindari agar pemberantasan korupsi tidak terganggu oleh persaingan internal di antara lembaga-lembaga penegak hukum.
Idealnya, semua institusi hukum yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi saling bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama: membersihkan Indonesia dari praktik korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah setiap tahunnya. Namun, tumpang tindih tugas dan rivalitas yang tidak sehat dapat memicu kebuntuan dalam proses hukum. Oleh karena itu, pembentukan korps anti-korupsi Polri harus disertai dengan mekanisme kerja sama yang jelas antara KPK, Kejaksaan, dan Polri, dengan koordinasi yang didukung oleh undang-undang serta aturan teknis yang tegas.
Transparansi dan Integritas: Kunci Keberhasilan Korps
Pembentukan korps ini hanyalah langkah awal dalam upaya memperkuat pemberantasan korupsi. Tantangan sesungguhnya adalah memastikan bahwa anggota-anggota korps ini memiliki integritas tinggi, profesionalisme, serta komitmen kuat dalam menjalankan tugas mereka. Untuk itu, proses seleksi anggota korps harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, melibatkan berbagai pihak yang independen, serta terbuka untuk pengawasan publik.