Ketika Joko Widodo (Jokowi) mulai menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014, publik menyaksikan seorang pemimpin yang sederhana dan merakyat, jauh dari hiruk-pikuk politik dinasti. Pada saat itu, putra-putrinya---Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep---masih remaja dan lebih tertarik pada dunia bisnis daripada politik.
Gibran memulai usahanya di bidang katering dan kemudian merambah dunia kuliner. Begitu juga Kaesang, yang setelah menyelesaikan studinya, turut terjun ke bisnis makanan. Seolah jauh dari gemerlap panggung politik, kehidupan anak-anak Jokowi tampak sederhana, selaras dengan citra sang ayah.
Namun, dalam perjalanan waktu, pepatah "buah tidak jatuh jauh dari pohonnya" tampaknya berlaku untuk keluarga Presiden Jokowi. Gibran dilirik oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, sementara menantu Jokowi, Bobby Nasution, dicalonkan menjadi Wali Kota Medan. Langkah ini sontak memunculkan banyak spekulasi dan kritik, terutama terkait dugaan adanya nepotisme dan politik dinasti.
Sebagai presiden yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, keterlibatan anggota keluarga dalam politik tentu menimbulkan pertanyaan: Apakah ini bagian dari permainan catur politik? Apakah ini akan mengundang kritik bahwa Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk memberi keuntungan bagi keluarganya?
Dinamika Awal: Dari Kritik hingga Pengakuan
Pada awalnya, muncul banyak kekhawatiran bahwa Gibran dan Bobby hanya menjadi pion partai politik yang mengandalkan pengaruh nama besar Jokowi. Publik pun sempat bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar layak memegang jabatan penting di daerah yang berperan strategis dalam politik nasional? Para aktivis demokrasi yang sebelumnya lantang berbicara tampak tidak begitu bersuara saat Gibran dan Bobby mencalonkan diri. Partai pengusungnya, PDIP, juga tampak solid mendukung pencalonan mereka, tanpa mempermasalahkan faktor kekerabatan dengan Presiden.
Namun, seiring berjalannya waktu, penilaian masyarakat mulai berubah. Gibran dan Bobby berhasil membuktikan kemampuan mereka sebagai pemimpin daerah.
Di Solo, Gibran memperkenalkan banyak kebijakan inovatif yang mencerminkan semangat kaum muda. Bobby di Medan juga tidak kalah inovatif dengan upaya pembaruan yang ia jalankan. Gaya kepemimpinan mereka yang segar dan adaptif mulai mendapat apresiasi.
Bahkan beberapa kalangan yang semula kritis, termasuk penulis di berbagai platform seperti Kompasiana, mulai menerima bahwa kinerja dan integritas mereka adalah batu uji yang lebih penting daripada asal-usul mereka sebagai anak atau menantu seorang presiden. Jika seorang pemimpin menunjukkan kualitas dan dipilih secara demokratis oleh rakyat, apakah salah untuk mendukung mereka? Kuncinya adalah keterbukaan, transparansi, dan hasil nyata yang dirasakan oleh masyarakat.
Keterlibatan Gibran dan Bobby: Awal Dinasti Politik atau Kebetulan?
Polemik semakin memuncak ketika Gibran dicalonkan sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Keterlibatannya di tingkat nasional jelas menarik perhatian, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengubah undang-undang yang mengatur batasan usia calon presiden dan wakil presiden. Dengan perubahan ini, Gibran yang baru berusia 36 tahun kini memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai cawapres.
Di balik keputusan ini, ada kontroversi yang cukup besar. Ketua MK saat ini, Anwar Usman, adalah ipar Jokowi, yang menikah dengan adik kandungnya. Tidak sedikit yang menuduh bahwa keputusan MK adalah bentuk "cawe-cawe" Jokowi untuk membuka jalan bagi putranya. Para analis politik oposisi dan aktivis demokrasi bersuara lantang, menuduh Jokowi telah merusak demokrasi dan melakukan nepotisme yang terang-terangan. Padahal, sebelumnya mereka tidak banyak mempermasalahkan saat Gibran dan Bobby maju dalam pemilihan wali kota.