Indonesia, sebuah negara yang diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah. Hutan yang luas, tambang yang kaya akan emas, nikel, timah, bauksit, dan berbagai komoditas lainnya, lautan yang penuh dengan hasil laut, serta perkebunan yang menghasilkan beragam komoditas unggulan.
Potensi ini seharusnya menjadikan Indonesia sebagai negara yang sejahtera, di mana rakyatnya menikmati kekayaan alam yang melimpah. Namun, kenyataan selama beberapa dekade sebelum pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berbicara lain. Kekayaan alam yang berlimpah tersebut lebih banyak dinikmati oleh pihak asing, sementara rakyat Indonesia masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Jokowi sangat menyadari realitas ini. Dalam refleksi 10 tahun pemerintahannya, salah satu kebijakan paling menonjol adalah upayanya untuk "merebut" kembali kekayaan sumber daya alam Indonesia, demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkokoh kedaulatan ekonomi bangsa.
Dengan tekad yang kuat, Jokowi mengambil langkah-langkah strategis untuk memulihkan kontrol negara atas sumber daya alam, melalui pengambilalihan perusahaan asing, peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, serta berbagai kebijakan lainnya yang menjadikan Indonesia sebagai pemain yang lebih dominan di panggung ekonomi global.
Merebut Freeport: Mengembalikan Kendali pada Negara
Salah satu pencapaian terbesar Jokowi dalam merebut kendali atas sumber daya alam Indonesia adalah pengambilalihan saham mayoritas PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang raksasa yang mengelola tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang terletak di Grasberg, Papua. Selama lebih dari lima dekade, Freeport dikuasai oleh perusahaan asing, sementara Indonesia hanya menikmati sebagian kecil keuntungan dari tambang tersebut.
Pada tahun 2018, setelah negosiasi yang panjang dan sulit, pemerintah Indonesia melalui PT Inalum (sekarang MIND ID) berhasil mengambil alih 51,23% saham Freeport. Ini adalah langkah besar dalam sejarah pengelolaan sumber daya alam Indonesia, di mana negara kini memiliki kendali mayoritas atas salah satu aset tambang terbesar di dunia.
Pengambilalihan ini bukan hanya soal ekonomi. Ini adalah soal harga diri bangsa. Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan alam Indonesia harus dinikmati oleh rakyat Indonesia. Penguasaan mayoritas Freeport adalah simbol bahwa Indonesia tidak lagi hanya menjadi penonton di negeri sendiri, tetapi kini menjadi aktor utama dalam mengelola kekayaan yang ada di bumi pertiwi.
Smelter dan Hilirisasi: Menambah Nilai Sumber Daya Alam
Namun, Jokowi tidak berhenti hanya pada pengambilalihan Freeport. Ia juga menerapkan kebijakan hilirisasi sumber daya alam, yang berarti bahwa bahan mentah yang diekspor harus diolah terlebih dahulu di dalam negeri, sehingga menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Sebelum era Jokowi, Indonesia banyak mengekspor bahan mentah seperti nikel, tembaga, bauksit, dan timah, tanpa pengolahan lebih lanjut. Akibatnya, nilai ekonominya sangat rendah, sementara negara-negara yang mengimpor bahan mentah tersebut menikmati keuntungan besar dari proses pengolahan.
Melalui kebijakan hilirisasi, Jokowi mewajibkan perusahaan-perusahaan tambang untuk membangun smelter di dalam negeri. Smelter adalah fasilitas pengolahan bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi. Sebagai contoh, pada tahun 2020, Jokowi melarang ekspor bijih nikel mentah dan mewajibkan perusahaan untuk mengolah nikel tersebut di dalam negeri menjadi produk seperti ferronikel atau stainless steel.