Lihat ke Halaman Asli

Marius Gunawan

Profesional

Doni Salmanan Dimiskinkan: Kapan Para Pejabat Koruptor Menyusul?

Diperbarui: 30 September 2024   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: Pramborsfm.com

Kasus Doni Salmanan baru-baru ini kembali menyita perhatian publik. Sosok yang dikenal sebagai 'sultan' karena kerap memamerkan barang-barang mewah di media sosial, kini berada di ujung kehancuran finansial. Tidak lagi hidup dalam kemewahan, Doni Salmanan telah divonis sebagai terpidana kasus penipuan melalui skema binary option, dan asetnya telah disita oleh negara. 

Eksekusi ini dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung berdasarkan Surat Perintah Nomor PRIN-2451/M.2.19/Kpa.5/09/2024, tanggal 24 September 2024. Aset-aset berupa uang, kendaraan, hingga rumahnya kini telah dijadikan milik negara.Berita ini membawa kelegaan bagi banyak pihak, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar di benak publik: Kapan para pejabat koruptor akan mendapatkan hukuman serupa?

Perbedaan Perlakuan Terhadap Penjahat Keuangan

Kasus Doni Salmanan memang menggembirakan dari sisi penegakan hukum. Bagaimana tidak, asetnya disita, dan ia tidak lagi bisa hidup bermewah-mewah setelah terbukti melakukan penipuan. Namun, jika kita melihat kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, fenomena ini sangat jarang terjadi. Para koruptor yang telah menyelesaikan masa tahanannya sering kali masih dapat menikmati hasil korupsi mereka setelah bebas. Harta hasil kejahatan mereka seolah tidak tersentuh, dan mereka bisa kembali hidup dengan nyaman.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa ada perbedaan dalam perlakuan terhadap Doni Salmanan, yang seorang konten kreator, dan para pejabat koruptor yang mencuri uang negara? Apakah para koruptor memiliki kekuatan lebih besar yang membuat mereka kebal dari hukuman yang lebih berat?

Mengapa Koruptor Masih Bisa Menikmati Hasil Korupsinya?

Hukum di Indonesia memang sering kali terlihat tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Pada kasus-kasus seperti Doni Salmanan, yang terlibat dalam penipuan terhadap masyarakat, penegakan hukum tampak tegas. Namun, ketika menyentuh kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat penting, penegakan hukum tampak lebih lunak. Banyak kasus korupsi besar di Indonesia yang berakhir dengan hukuman ringan dan tanpa penyitaan aset secara total. Akibatnya, para koruptor masih dapat menikmati kekayaan yang mereka kumpulkan dengan cara yang tidak sah.

Salah satu alasan utama di balik hal ini adalah ketiadaan regulasi yang kuat terkait penyitaan aset hasil kejahatan korupsi. Meski sudah ada wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, hingga saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur penyitaan aset koruptor secara sistematis. Alhasil, dalam banyak kasus, hakim hanya bisa menghukum para koruptor dengan hukuman penjara, tanpa memiskinkan mereka dengan menyita seluruh aset yang mereka peroleh dari hasil korupsi.

Keputusan penyitaan aset dalam kasus Doni Salmanan sebenarnya bisa dijadikan sebagai yurisprudensi atau contoh keputusan yang dapat diterapkan oleh hakim-hakim lain dalam memutus kasus korupsi. Walaupun undang-undang penyitaan aset koruptor belum disetujui DPR, hakim seharusnya lebih berani menggunakan asas keadilan dalam memutuskan penyitaan aset, terlebih ketika jelas bahwa kekayaan tersebut berasal dari kejahatan.

Hukuman yang Lebih Tegas untuk Koruptor

Kasus Doni Salmanan bisa menjadi momentum untuk penegakan hukum yang lebih adil dan menyeluruh. Jika seorang penipu digital seperti Doni bisa dimiskinkan, seharusnya hal yang sama juga berlaku bagi para pejabat yang terbukti melakukan korupsi. Penyitaan aset bukan hanya sebagai hukuman finansial, tetapi juga sebagai langkah penting dalam memberikan efek jera bagi pelaku. Koruptor yang telah merampas hak masyarakat tidak seharusnya dibiarkan hidup nyaman setelah keluar dari penjara.

Kelemahan sistem hukum Indonesia dalam menangani korupsi jelas terlihat pada saat para pelaku hanya mendapatkan hukuman penjara yang relatif singkat dan tanpa menyentuh kekayaan mereka yang didapat secara tidak sah. Ini yang menyebabkan mereka sering kali tidak jera, bahkan ada yang terlibat kembali dalam tindak pidana korupsi setelah bebas. Jika aset-aset mereka disita dan mereka benar-benar dimiskinkan, bukan tidak mungkin efek jera akan lebih terasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline