Setelah berpuluh tahun berlalu sejak reformasi 1998, nama Soeharto kembali muncul di ranah politik Indonesia. Kali ini, bukan hanya dalam konteks sejarah atau kritik atas masa Orde Baru, melainkan dalam wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional. Usulan ini disampaikan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), yang menyebut bahwa sudah waktunya para mantan presiden seperti Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapatkan penghargaan yang layak atas jasa mereka dalam sejarah bangsa.Bamsoet beralasan, langkah ini adalah bagian dari upaya mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjaga persatuan bangsa. Namun, meskipun niat ini terdengar mulia, wacana ini segera memicu kontroversi, terutama terkait dengan sejarah Soeharto dan warisan pelanggaran HAM yang terjadi selama rezim Orde Baru.
Soeharto dan Warisan Orde Baru: Dua Sisi Mata Uang
Soeharto, yang menjabat sebagai presiden Indonesia selama lebih dari tiga dekade, tentu memiliki jasa yang besar dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas politik di Indonesia. Pada masa pemerintahannya, Indonesia berhasil keluar dari keterpurukan ekonomi pasca kemerdekaan dan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan di Asia Tenggara.
Namun, di sisi lain, pemerintahan Soeharto juga diwarnai dengan pelanggaran HAM berat, pembungkaman oposisi, korupsi yang meluas, serta hilangnya kebebasan pers. Peristiwa seperti tragedi 1965, pembantaian orang-orang yang diduga sebagai komunis, penindasan terhadap aktivis pro-demokrasi, dan konflik di Timor Timur meninggalkan luka mendalam bagi korban dan keluarga mereka.
Untuk banyak kalangan, terutama para korban pelanggaran HAM di era Orde Baru, usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah bentuk pelecehan terhadap penderitaan yang mereka alami. Mereka merasa bahwa negara seakan menutup mata terhadap masa kelam yang dialami oleh banyak rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Soeharto.
Proses Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional: Ada Apa dengan MPR?
Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto ini tidak hanya menuai kritik dari sisi moral dan historis, tetapi juga dari segi prosedural. Banyak yang mempertanyakan bagaimana proses pengusulan ini bisa berjalan tanpa ada diskusi terbuka dengan publik.
Bamsoet menyebut bahwa MPR berperan sebagai "rumah kebangsaan," tempat untuk merajut persatuan dan rekonsiliasi. Namun, apakah benar bahwa keputusan ini mencerminkan semangat musyawarah dan demokrasi?
Seperti diketahui, penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR tentang IKN juga dilakukan tanpa melibatkan dialog publik yang transparan. Keputusan tersebut tiba-tiba diumumkan tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya atau konsultasi dengan masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana MPR menjalankan fungsinya sebagai perwakilan rakyat. Apakah keputusan-keputusan strategis seperti ini dapat diambil tanpa mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak, termasuk keluarga korban pelanggaran HAM?
Apakah Gelar Pahlawan Nasional Sudah Tepat untuk Soeharto?
Dalam sejarah Indonesia, gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada mereka yang dianggap berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Sukarno, sebagai proklamator, telah lama dianugerahi gelar ini. Gus Dur, yang dikenal sebagai tokoh pluralis dan pejuang HAM, juga dianggap layak menerima penghargaan tersebut.