Pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) memicu kontroversi besar. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa langkah ini melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama rezim Orde Baru. Pernyataan Usman Hamid ini tidak bisa dianggap remeh, mengingat warisan kelam dari masa pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto, yang hingga kini masih menyisakan luka mendalam di benak banyak orang, khususnya mereka yang pernah menjadi korban atau kehilangan orang terkasih akibat kekerasan negara.Pertanyaannya, mengapa keputusan ini dibuat? Dan bagaimana seharusnya masyarakat serta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyikapi protes dari para aktivis dan korban pelanggaran HAM?
Mengapa Nama Soeharto Dicabut?
Pada dasarnya, Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 ditujukan untuk memastikan bahwa para pejabat negara menjalankan tugasnya dengan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme---tiga dosa besar yang kerap dikaitkan dengan pemerintahan Soeharto. Pada saat itu, Tap ini menjadi simbol penting dari Reformasi 1998, sebagai penanda bahwa era otoritarianisme telah berakhir, dan pemerintahan yang bersih serta demokratis harus ditegakkan.
Namun, pada tahun 2024, pencabutan nama Soeharto dari Tap tersebut dilakukan oleh MPR, yang menurut penjelasan mereka, dimaksudkan untuk "menyamakan standar" terkait penghapusan nama-nama tokoh dari ketetapan-ketetapan serupa. Sebelumnya, nama Presiden Soekarno juga telah dihapus dari Tap yang menyatakan dirinya sebagai pengkhianat negara. Dalam upaya ini, MPR mungkin mencoba untuk menempatkan Soeharto dan Soekarno pada posisi yang setara dalam hal penghapusan dari Tap yang bersifat menyudutkan.
Namun, menyamakan kedudukan ini jelas mengundang protes keras. Soekarno, sebagai tokoh kemerdekaan, mungkin dicabut dari Tap pengkhianatan dengan alasan rekonsiliasi sejarah. Akan tetapi, tindakan mencabut nama Soeharto tanpa memperhitungkan dampak psikologis terhadap para korban Orde Baru menimbulkan luka baru bagi banyak pihak, terutama bagi mereka yang belum mendapatkan keadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi di bawah rezim Soeharto.
Melecehkan Korban HAM: Suara Kekecewaan
Usman Hamid, dalam kritiknya, menekankan bahwa pencabutan nama Soeharto dari Tap ini bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap korban pelanggaran HAM. Pasalnya, hingga saat ini, banyak kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah rezim Orde Baru belum dituntaskan secara hukum. Korban Tragedi 1965, pembunuhan aktivis, penculikan mahasiswa, dan berbagai bentuk represi negara selama masa pemerintahan Soeharto masih belum mendapat keadilan. Pencabutan nama Soeharto dari Tap yang menyebutnya sebagai simbol KKN memberi kesan seolah-olah dosa-dosa besar masa lalu bisa dihapus begitu saja tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Sebagai contoh, banyak keluarga korban pelanggaran HAM selama Orde Baru masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan ganti rugi. Dengan keputusan MPR ini, rasa ketidakadilan mereka semakin diperparah. Bagi para korban, nama Soeharto dalam Tap tersebut bukan sekadar simbol, melainkan peringatan atas sebuah rezim yang penuh dengan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan pencabutan ini, mereka merasa bahwa penderitaan dan perjuangan mereka selama bertahun-tahun diabaikan begitu saja.
Ketergesa-Gesaan di Penghujung Masa Jabatan MPR
Keputusan MPR untuk mencabut nama Soeharto juga tampak diputuskan di penghujung masa jabatan mereka, yang sering kali menimbulkan kesan tergesa-gesa. Publik berhak mempertanyakan apakah proses pengambilan keputusan ini sudah melibatkan masukan dari berbagai pihak yang terdampak, terutama dari kalangan masyarakat korban dan aktivis HAM. Seharusnya, proses semacam ini tidak boleh diambil hanya karena kebutuhan untuk menyesuaikan standar hukum tanpa mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan sejarah yang lebih dalam.
MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat seharusnya mendengarkan suara masyarakat, terutama mereka yang menjadi korban dari pelanggaran HAM di masa lalu. Sebelum mencabut nama Soeharto dari Tap ini, MPR seharusnya mengadakan diskusi publik yang melibatkan korban pelanggaran HAM, akademisi, dan aktivis. Keputusan yang diambil tanpa melibatkan para korban dapat menimbulkan kesan bahwa suara mereka tidak dihargai, dan bahwa penderitaan mereka tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.