Pilkada, singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah, merupakan momen penting bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah yang dipercaya mampu membawa perubahan dan kemajuan. Seharusnya, Pilkada menjadi ajang persaingan gagasan, visi, dan misi para calon, yang disampaikan dengan cara yang bijak dan beradab.
Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari harapan. Pilkada kerap diramaikan oleh isu-isu negatif seperti black campaign, hoax, ujaran kebencian, bahkan politik identitas yang mengadu domba masyarakat. Mengapa hal ini terus terjadi, dan apakah ada jalan keluar dari lingkaran setan ini?Mengapa Black Campaign dan Hoax Selalu Muncul?
Ada beberapa alasan mengapa kampanye hitam, hoax, dan ujaran kebencian sering mewarnai Pilkada. Salah satunya adalah keinginan kuat untuk menang dengan segala cara. Persaingan politik sering kali tidak hanya mengenai program dan visi, tetapi juga bagaimana menyingkirkan lawan dengan serangan pribadi atau isu-isu sensitif seperti SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Hoax dan ujaran kebencian mudah menyebar di era digital. Media sosial menjadi alat utama untuk menyebarkan informasi, namun juga sering disalahgunakan untuk menyebar berita bohong. Hoax yang menyerang calon tertentu dapat dengan cepat menurunkan elektabilitasnya, terutama jika masyarakat tidak bijak dalam menyaring informasi. Ditambah lagi, berita hoax seringkali memanfaatkan sentimen emosional masyarakat, sehingga lebih mudah menyebar dibandingkan berita yang berbasis fakta.
Selain itu, rendahnya literasi media dan politik menjadi faktor penting. Masyarakat yang kurang teredukasi cenderung lebih mudah terpengaruh oleh informasi yang salah. Tanpa kemampuan untuk memverifikasi berita, mereka menjadi target empuk dari penyebaran hoax. Politikus yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan celah ini untuk meraih dukungan.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Beban tanggung jawab dalam mengatasi fenomena ini tentu tidak hanya terletak pada satu pihak. Semua pihak yang terlibat dalam Pilkada memiliki peran dan tanggung jawab yang sama besar untuk menjaga proses demokrasi yang sehat.
Politikus dan Calon Kepala Daerah. Para calon kepala daerah dan tim suksesnya memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk tidak menggunakan cara-cara negatif dalam berkampanye. Mereka seharusnya menyadari bahwa memenangkan hati masyarakat dengan menyebarkan fitnah atau ujaran kebencian tidak hanya merusak integritas Pilkada, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri. Komitmen dari para calon untuk berkompetisi secara sehat sangat penting. Mereka harus bersikap tegas menegur para pendukung atau relawannya yang melakukan hal-hal negatif, alih-alih membiarkan tindakan tersebut demi memenangkan kontestasi.
Pendukung dan Relawan. Dalam berdemokrasi, pendukung atau relawan sering kali menjadi ujung tombak dalam menyebarkan narasi kampanye. Fanatisme berlebihan terhadap calon tertentu bisa menyebabkan munculnya tindakan-tindakan yang merugikan demokrasi, seperti menyebarkan hoax atau ujaran kebencian.
Pendukung yang cerdas dan kritis tidak akan mengorbankan etika hanya demi kemenangan semu. Oleh karena itu, pendidikan politik kepada masyarakat luas menjadi sangat penting agar setiap warga negara memiliki pemahaman yang dewasa dalam mendukung kandidat.
Penyelenggara Pemilu: KPU dan Bawaslu. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengatur dan mengawasi jalannya Pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki peran kunci dalam mencegah kampanye negatif. KPU dan Bawaslu harus memastikan bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan, baik oleh calon, tim sukses, maupun pendukung, ditindak secara tegas dan adil.