Keikutsertaan perempuan dalam politik sering kali dianggap sebagai cerminan dari tingkat kesetaraan gender di suatu negara. Dunia politik, secara tradisional, didominasi oleh laki-laki, sehingga kehadiran perempuan sebagai calon pemimpin sering dianggap sebagai kemajuan.
Namun, benarkah peningkatan jumlah calon perempuan dalam Pilkada dapat dianggap sebagai tanda kesetaraan gender yang sesungguhnya, ataukah ini hanya sebuah langkah kosmetik tanpa perubahan signifikan dalam kualitas keterlibatan mereka?
Kenyataannya, meskipun jumlah perempuan yang terlibat dalam politik cenderung meningkat, partisipasi mereka masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Hal ini dipengaruhi oleh tradisi patrimonial yang masih kuat di politik Indonesia, di mana jabatan-jabatan politik sering diwariskan atau dikendalikan oleh jaringan kekuasaan laki-laki.
Oleh karena itu, langkah afirmatif seperti pencantuman kuota minimal sepertiga calon perempuan dalam undang-undang politik dianggap perlu untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam politik.
Kuota: Mendorong Kuantitas, Tapi Bagaimana dengan Kualitas?
Aturan mengenai kuota perempuan di parlemen atau dalam pencalonan politik bertujuan untuk memastikan representasi yang lebih adil.
Meskipun demikian, keberadaan kuota ini menimbulkan perdebatan: apakah ia benar-benar mendorong keterlibatan perempuan secara berkualitas atau sekadar memenuhi target angka semata?
Di satu sisi, kuota perempuan telah berhasil meningkatkan jumlah perempuan yang maju dalam berbagai pemilihan, termasuk Pilkada. Namun, di sisi lain, kuantitas yang meningkat belum tentu diikuti dengan peningkatan kualitas keterlibatan mereka.
Ada fenomena di mana perempuan yang maju sebagai calon bukan karena kemampuan mereka yang menonjol, melainkan karena mereka terkait dengan dinasti politik atau sebagai wakil simbolik. Hal ini bisa mencerminkan bahwa perempuan masih dipandang sebagai alat politik daripada pemimpin yang independen dan kompeten.