Kasus bullying yang terjadi di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (UNDIP) baru-baru ini menjadi sorotan nasional. Seorang dokter spesialis muda menjadi korban tindakan kekerasan dan perundungan yang dilakukan oleh seniornya.
Ironisnya, perundungan ini terjadi dalam lingkungan akademik yang seharusnya mengedepankan profesionalisme, etika, dan rasa kemanusiaan. Sebagai calon dokter spesialis, para pelaku bullying tentu memahami betul tugas seorang dokter untuk melindungi nyawa dan menghormati martabat manusia. Namun, tindakan mereka justru mencerminkan kebalikannya.
Proses Penanganan Kasus: Respons Cepat Kemenkes dan Sikap UNDIP
Setelah kasus ini viral di media sosial, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) segera merespons. Kemenkes bertindak cepat dengan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku bullying, menunjukkan komitmen pemerintah dalam menindak tegas tindakan tidak etis di dunia kesehatan. Saat ini pun Kemendikbudristek yang juga membawahi perguruan tinggi sudah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus ini.
Langkah cepat ini patut diapresiasi karena mengirim pesan kuat bahwa perilaku bullying di dunia pendidikan dan profesi kesehatan tidak bisa ditoleransi.
Namun, sayangnya, ada kesan bahwa pihak UNDIP sendiri tidak sepenuhnya menerima sanksi tersebut. Beberapa indikasi menunjukkan adanya upaya dari pihak kampus untuk melawan sanksi yang diberikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah institusi pendidikan kita masih terjebak dalam budaya melindungi nama baik kampus, bahkan jika itu berarti mengabaikan kebenaran dan keadilan bagi korban?
Tradisi Bullying: Sebuah Fenomena yang Mengakar
Kasus bullying di PPDS UNDIP tampaknya bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Tradisi senioritas yang melibatkan perundungan terhadap junior di lingkungan akademik, terutama di bidang kesehatan dan kedokteran, sudah lama terdengar, namun sering kali tidak terungkap. Fenomena ini bisa diibaratkan sebagai puncak gunung es---apa yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang jauh lebih besar dan mendalam.
Senioritas, yang seharusnya berfungsi sebagai panduan bagi junior dalam proses belajar, malah sering kali disalahgunakan menjadi alat kontrol dan intimidasi. Junior dipaksa untuk tunduk dan patuh, bukan berdasarkan rasa hormat, melainkan karena takut akan konsekuensi yang bisa berupa kekerasan fisik, verbal, atau mental. Ketika kasus bullying di PPDS UNDIP ini terungkap, kita harus bertanya: sudah seberapa parah sebenarnya tradisi ini dalam pendidikan kita?
Kasus Lain yang Pernah Terjadi
Contoh kasus serupa juga pernah terjadi di berbagai institusi pendidikan lain. Di Fakultas Kedokteran beberapa universitas besar di Indonesia, tradisi bullying dalam bentuk kekerasan fisik atau tekanan mental terhadap mahasiswa junior kerap terjadi, meski jarang terekspos. Hal ini bukan hanya terjadi di lingkungan kedokteran, tetapi juga di berbagai fakultas lainnya dan bahkan di sekolah-sekolah umum.