Di sebuah negara yang terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya, berdirilah sebuah gedung megah yang dihuni oleh para petinggi negeri. Gedung itu berkilauan di bawah sinar matahari, mencerminkan kemakmuran yang diraih oleh segelintir orang yang beruntung.
Di antara mereka, seorang pria bernama Pak Budi adalah tokoh paling disegani. Ia adalah pejabat yang telah lama bercokol di kursinya, berkat kecerdikannya dalam "mengelola" dana negara. Korupsi, bagi Pak Budi, sudah seperti hobi yang membawa keuntungan besar.
Namun, ada yang berbeda pagi itu. Di meja kantornya, Pak Budi duduk dengan wajah penuh perenungan. Tangannya memegang segelas kopi yang belum ia seruput, sementara pandangannya menerawang jauh ke luar jendela.
"Pak Budi, Bapak kelihatan murung hari ini," ujar asistennya, Bu Dina, yang sudah bertahun-tahun setia mendampingi.
"Ah, Dina, kau tidak akan percaya apa yang sedang terjadi padaku," kata Pak Budi dengan suara berat.
"Ada apa, Pak? Apakah ada masalah dengan proyek terbaru?" tanya Bu Dina sambil mengambil tablet elektroniknya, siap mencatat masalah baru yang mungkin muncul.
Pak Budi menggeleng. "Bukan soal proyek. Aku... aku mengalami pencerahan."
"Pencerahan, Pak?" Bu Dina tampak bingung.
"Ya. Semalam, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat diriku dikelilingi oleh tumpukan uang. Ada uang di mana-mana, Dina. Tapi, saat aku mencoba menyentuhnya, uang itu berubah menjadi pasir dan menghilang. Lalu, datanglah seseorang dengan jubah putih. Dia menatapku dalam-dalam dan berkata, 'Budi, sudah cukup. Tobatlah sebelum terlambat.'"
Bu Dina hampir terbatuk mendengar kata "tobat" keluar dari mulut Pak Budi. Ini pasti lelucon, pikirnya. Tapi wajah Pak Budi tetap serius.
"Pak Budi... apakah Bapak sedang bercanda?"