Heboh lem Aibon belum berakhir. Sang pelapor, Wiliam dari partai PSI diajukan ke Badan Kehormatan DPRD karena dianggap telah melanggar etika dan tata tertib DPRD.
Hasilnya?
William diputuskan bersalah karena dianggap melanggar tata tertib dan bersikap tidak proposional. (JPNN.com)
Rupanya kasus lem ini yang seharusnya menjebak para perancang anggaran yang bekerja serampangan justru menjadikan William menjadi pesakitan.
Ini hal yang mengherankan sekaligus memprihatinkan. Alih - alih mendapat penghargaan karena menjalankan peran dengan benar - benar mengkritisi rencana anggaran yang mencurigakan, justru mendapatkan teguran.
Inilah contoh sangat gamblang betapa sistem yang seharusnya dirancang dengan baik justru hasilnya kontraproduktif. Sistem ini sudah mengalami pembusukan.
Penulis sangat yakin ketika dibentuk Badan Kehormatan di lembaga legislatif, tentu tujuannya untuk mengadili dan menilai para anggota legislatif yang diduga melanggar tata tertib dan etika lembaga ini. Hal itu memang diperlukan supaya lembaga terhormat ini tidak dicemari oleh tingkah negatif oknum anggota nya.
Namun kenyataannya justru yang sering terjadi adalah, lembaga ini menghukum dan mengekang para anggota legislatif yang bersuara kritis dan menjalankan fungsinya secara benar.
Contoh konkrit untuk kasus Wiliam ini. Dengan tuduhan tidak proposional, BK menganggap apa yang dilakukan oleh anggota PSI ini diluar wewenang dan tugasnya.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah, kalau William diam saja dan temuannya itu masuk ke proses seperti biasa, apakah kasus ini akan terbuka dan ada solusinya?
Atau justru yang terjadi adalah kasus ini menjadi tenggelam, dan bahkan lebih parah lagi kasus tersebut bisa saja menjadi ajang tawar menawar dan kongkalikong para oknum di lembaga terhormat ini.