Akhir - akhir ini terjadi kehebohan terhadap pengajuan dan dalil tambahan yang dilakukan oleh tim Prabowo.
Butir - butir tambahan itu adalah: posisi Ma'ruf Amin yang dianggap melanggar syarat pencalonan, bertambahnya harta kekayaan Jokowi serta klaim kemenangan 52 % dengan tuduhan KPU telah menggelembungkan suara untuk memenangkan pasangan Jokowi - Amin.
Sepeti biasa, begitu informasi ini bocor ke publik, langsung terjadi berbagai macam tanggapan, baik dari para pakar hukum maupun masyarakat awam.
Ada kesan bahwa seolah persidangan sudah dimulai dengan segala opini yang telah diberikan berdasarkan materi dan bukti yang akan di bawa ke MK.
Dari tanggapan itu banyak yang berpendapat bahwa bukti - bukti tambahan yang seyogyanya memperkuat bukti yang sudah diberikan sebelumnya, justru dilihat kurang relevan dan asal dikumpulkan saja.
Contoh nya, untuk posisi Ma'ruf Amin, KPU sendiri sudah memberikan klarifikasi bahwa informasi itu sudah diketahui sebelumnya dan sudah diselidiki.
Kesimpulannya, Ma'ruf Amin tidak melanggar ketentuan pencalonan karena sebagai penasehat, dia bukan staf di dua bank yang dimaksud serta kedua bank itu tidak termasuk BUMN.
Juga mengenai penggelembungan suara sampai puluhan juta. Hal itu tidak menjadi temuan pada saat perhitungan berjenjang, padahal semua pihak sudah terwakili sebagai saksi dalam proses tersebut.
Melihat ini, kemudian Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa tambahan bukti yang diajukan oleh tim hukum Prabowo, bukanlah bukti hukum, tetapi lebih sebagai propaganda politik untuk mempengaruhi opini publik.
Apakah benar demikian?
Kita tahu dari pengertian nya, propaganda politik adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku.