Lihat ke Halaman Asli

Marius Gunawan

Profesional

Koruptor Sayang, Koruptor Malang

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14263854851173271363

[caption id="attachment_355524" align="aligncenter" width="700" caption="Menkumham Yassona Laoly/http://batam.tribunnews.com"][/caption]

Entah apa yang ada di benak Menteri Hukum dan Ham Yassona Laoly ketika secara tegas dan gagah perkasa mengatakan, “Koruptor harus diperlakukan secara adil dengan mengembalikan hak mereka terhadap remisi”. Ia bagai seorang pahlawan yang berani melawan arus bahwa korupsi itu adalah kejahatan yang luar biasa seperti halnya terorisme dan narkoba yang memang membutuhkan ketegasan dalam menerapkan hukum lebih dari kejahatan lain. Alih-alih memperkuat hukum terhadap para koruptor yang justru juga layak mendapat hukuman mati, menteri yang satu ini justru memberi angin surga untuk meringankan hukuman mereka.

Bagai potongan lagu seolah Laoly melantunkan lagu sendu: “Koruptorku Sayang, Koruptorku Malang…”.

Tentu ada alasan mengapa PP ini dikeluarkan Pemerintahp pada tahun 2012 silam. Pengecualian terhadap mereka yang tersangkut masalah korupsi tidak terlepas dari tuntutan masyarakat luas yang melihat bahwa ketiga kejahatan ini, terorisme, narkoba dan korupsi memang kejahatan luar biasa yang sungguh melawan dan menghancurkan nilai fundamen kemanusiaan dan korban yang diakibatkan oleh ketiga kejahatan ini. Seperti halnya terorisme dang narkoba, korupsi juga telah mengakibatkan jutaan orang kehilangan hak hidup secara ekonomi dan mengorbankan masa depan banyak generasi muda terhadap hak dasar lain seperti kesehatan dan pendidikan karena uang yang seharusnya digunakan untuk membangun kebutuhan dasar tersebut dirampas oleh para koruptor.

Konsep “keadilan” yang ingin diterapkan Laoly dalam kasus ini saya lihat sebagai suatu yang menyesatkan. Dalam hal ini konsep keadilan harus dilihat dari sisi para korban, bukan para pelaku kejahatan itu sendiri. Karena dengan mengurangi masa hukuman mereka berarti telah merampas keadilan dari para korban perbuatan kejahatan mereka.

Sebenarnya hukuman dan pengurungan badan sendiri kalau dilihat dari sisi pandang Laoly bisa dinilai sebagai “ketidakadilan” karena merampas hak orang untuk menikmati kebebasan. Namun itulah kosekwensi dari penerapan hukum serta keadilan yang hakiki karena “ketidakadilan” tesebut adalah konsekwensiperbuatan jahat mereka terhadap peradaban dan nilai kemanusiaan masyarakat yang lain. Jadi, hak mereka memang secara hukum yang adil sengaja dirampas demi melindungi nilai kemanusiaan dan peradaban orang lain.

Kebijakan pengetatan remisi ini juga sebenarnya adalah reaksi dari situasi di mana pada saat itu, para koruptor bisa menjadikan penjara sebagai “hotel atau villa” mereka dengan perlengkapan yang super mewah serta gelimangan remisi sehingga mereka hanya menikmati “prodeo” sepertiga dari masa hukuman yang seharusnya. Sama seperti halnya para Bandar narkoba yang justru menjadikan penjara sebagai benteng dan kantor pusat operasional pengedaran mereka. Hal ini terjadi karena mereka masih bisa menggunakan “uang haram” mereka untuk membeli sistem hukum dan para oknum penjara yang memang masih amburadul yang notabene adalah anak buah Laoly. Seharusnya ini dahulu yang dibenahi bukan mengurangi hukuman koruptor.

Kembali pada sikap menteri Laoly yang berani pasang badan untuk membela para koruptor. Sikap ini rasanya sangat bertentangan dengan janji Nawa Cita yang telah diikrarkan Jokowi dalam janji kampanyenya. Sebagai menteri dan pembantu presiden seharusnya Laoly tinggal menerapkan butir-butir janji penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang telah jelas dalam Nawa Cita.

Apakah Laoly telah salah menafsir nilai tersebut? Saya yakin nilai tersebut sudah sangat jelas, tidak perlu diinterpretasikan lagi. Namun kuat kesan, kebijakan ini adalah “pesanan” dari mereka yang memang merasa terancam jika korupsi diberantas dengan keras dan kebijakan ini untuk melakukan bargaining politik.

Sikap ini tentu akan kembali merugikan pemerintah Jokowi karena dukungan terhadap pemerintah ini akan terus tergerus. Saya harap Jokowi bisa dengan tegas memberikan perintah untuk menghentikan kebijakan-kebijakan seperti ini. Karena jika Jokowi menjanjikan A lalu yang diterapkan para menteri B maka itu juga adalah pembangkangan terhadap kebijakannya. Kalau tidak, semakin banyak orang akan melihat, setelah kasus yang menimpa KPK dan sekarang kebijakan kontroversial ini, maka pemerintah ini akan semakin diperlemah dan semakin jauh dari keinginan mayoritas pendukungnya. Tentu hal ini tidak diinginkan Jokowi. ***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline