Lihat ke Halaman Asli

Marius Gunawan

Profesional

Mana "Eksekusi" Jokowi?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: solopos.com Seperti baru kemarin kita mendengar gaung tekad yang dibacakan oleh Jokowi dan JK di kapal phinisi yang dengan lantang menyerukan pembaharuan di segala bidang. Serasa belum pudar sumringah warga yang menyambut pelantikan Presiden ke 7 ini yang menyemut melihat peristiwa pertama kali seorang presiden bermandi peluh, menyingsingkan lengan baju sebagai simbol akan bekerja keras membangun negara ini. Ya, waktu itu sebagian besar warga berharap sekali bahwa track record yang ditunjukkan oleh mantan walikota Solo dan guvernur DKI ini akan meneruskan tradisi “kerja, kerja, kerja”, “tinggal eksekusi” yang didukung oleh wakilnya yang tidak kalah yakni JK yang yang punya prinsip “lebeh cepat lebeh baik”. Suatu gabungan sikap pemimpin yang tidak mau berleha-leha, langsung terjun, cepat mengambil keputusan dan trengginas… Namun, setelah 3 bulan Jokowi - JK di tampuk perintahan tekad untuk “kerja, kerja, kerja”, “tinggal eksekusi”  dan “lebeh cepat lebeh baik” ini nampaknya menemukan hambatan. Mengapa? Konflik bawaan KIH - KNP Ini memang merupakan cacat bawaan yang sejak awal awal sudah diduga akan menjadi gelombang pertama yang akan menghambat laju “phinisi” yang dinakhodai oleh Jokowi. Dua bulan pertama kita menyaksikan betapa pertikaian dua kubu ini telah menguras energi politik  bangsa ini. Banyak hal irrasional dilakukan oleh kedua kubu ini dengan keinginan untuk menyandera satu sama lain. Tentu pertikaian ini telah berakibat langsung terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Bahkan sempat terjadi para menteri dilarang dulu untuk berkomunikasi dengan DPR yang kala itu masih terpecah yang jelas memperlambat proses pemerintahan Jokowi. Syukurlah akhir-akhir ini nampaknya masalah ini sudah mulai mencair, baik karena memang koalisi “permanen” yang coba digadang-gadang kedua kubu sejak awal memang tidak akan berjalan karena alasan kepentinganlah yang paling rasional merekatkan suatu koalisi partai. Sebenarnya ini juga merupakan buah dari strategi Jokowi. Walau ada yang menyangkal, namun harus diakui  bahwa strategi Jokowi untuk merangkul “sparring partner“nya kala perebutan presiden yakni Prabowo adalah faktor yang cukup menentukan proses pencairan kedua kubu ini. Juga taktik Jokowi untuk memamerkan “pembagian kekuasaan” pada para pendukung-pendukungnya membuat koalisi yang berseberangan menjadi pecah karena ada yang masih berharap dapat jatah dari Jokowi. Untuk strategi yang kedua ini nampaknya harus ditebus atau dibayar oleh Jokowi. Hal ini akan saya perdalam di bagian lain. Tradisi koalisi yang belum berubah Walau Jokowi sejak awal kampanye selalu meneriakkan revolusi mental “koalisi tanpa syarat dan dagang sapi”, namun setelahnya kita lihat bahwa tradisi bagi-bagi kursi dan “dagang sapi” ini tidak bisa sepenuhnya dihindari oleh Jokowi. Yang sedikit membedakannya adalah “dagang sapi”nya tidak dilakukan di awal tapi setelah kekuasaan di dapat….. Partai-partai koalisi, masih tetap menuntut “keadilan” dalam mereguk kekuasaan…. Harapan awal Jokowi untuk bisa bersikap tegas rupanya terkubur oleh realitas politik yang belum bisa berubah. Faktor para menteri dan pembantu presiden Pengaruh faktor di atas berlanjut pada pemilihan menteri dan pembantu dekatnya. Keinginan Jokowi untuk memiliki birokrasi yang “ramping”pun nampaknya tergadai. Supaya koalisinya puas dan bisa terbagi rata maka jumlah kementrianpun tidak bisa dikurangi…. Hal itu dilanjutkan lagi dengan pembagian jatah menteri-menteri pada setiap partai pendukung, dan dengan penempatan posisi-posisi penting di dalam dan sekitar kekuasaan. Seperti yang telah sampaikan di atas, pembagian kue kekuasaan ini menurut saya, selain memang atas desakan koalisi pendukung, juga digunakan Jokowi untuk memecah konsentrasi koalisi KMP. Namun sekali lagi ada yang harus dibayar Jokowi dengan strategi ini. Hal ini terbukti setelah 3 bulan memerintah, jelas sekali secara langsung “kurang profesional”nya para pembantu presiden ini telah menghambat kinerja pemerintahan Jokowi, karena beliau tidak bisa sepenuhnya memilih mereka yang punya cara kerja yang cepat seperti yang diinginkannya. Setelah seratus hari kita bisa menghitung dengan jari, hanya beberapa menteri yang punya kinerja cukup menonjol, sementara kebanyakan yang lain melakukan “business as usual” tanpa ada prioritas yang jelas dan percepatan proses pembangunan. Hal ini diperparah karena birokrasi di negara ini memang sudah sangat tambun sehingga perlu tenaga ekstra untuk mendorongnya….. Faktor PDIP Sudah banyak tulisan yang membahas hal  ini karena memang tidak dapat dipungkiri, posisi Jokowi yang “bukan siapa-siapa” dalam partai menimbulkan persoalan tersendiri. Dia tidak bisa mempengaruhi kebijakan partai agar dapat dengan sepenuhnya mendukung pemerintahannya. Hambatan seperti ini tidak pernah dirasakan oleh presiden-presiden sebelumnya karena semua mereka adalah tokoh atau bahkan pendiri partai. Kita melihat sampai saat ini tarik menarik  “petugas partai” ini masih sangat panas. Di satu titik, kultur PDIP dan gaya Jokowi memang berbeda. Dengan kasus BG kita bisa melihat bagaiman dua kultur ini bertarung sengit yang sekali lagi menjadi penghambat kecepatan langkah Jokowi untuk memerintah…. Mau tak mau setiap akan memutuskan atau menentukan kebijakan Jokowi harus berhitung kambali secara politis dari awal, siapa-siapa yang akan mendukungnya secara politis…. Tidak ada koalisi yang sudah bulat mendukung kebijakannya….. Faktor para pembisik Setiap presiden punya orang-orang di lingkaran luar dan dalam. Di lingkaran dalam terdapat para tokoh dan pembisik yang sudah pasti akan jadi pertimbangan serius setiap kali Jokowi mau mengambil keputusan. Kalau dilihat, para pembisik utama itu adalah para senior termasuk juga dalam usia. Kekhawatiran yang dulu pernah muncul pada saat Jokowi memilih wakil nampaknya sebagian terbukti. Faktor senioritas secara psikologis mau tak mau mempengaruhi keputusan yang ia ambil. Coba bayangkan dalam suatu masalah, Jokowi punya perbedaan sikap dengan JK, Megawati, Surya Paloh, Luhat Panjaitan. Hendropriyono….. apakah Jokowi bisa tetap bertahan pada sikapnya???? Faktor Ruang Lingkup dan Pengalaman Faktor ini juga pernah muncul pada saat awal Jokowi mencalonkan diri. Belum pernahnya beliau menjadi tokoh nasional sempat mencuat. Ya, faktor ini membuat Jokowi nampaknya masih harus belajar untuk mengelola birokrasi yang lebih luas. Tradisi blusukan dan mendengar langsung setiap persoalan yang menjadi andalannya harus dimodifikasi dengan situasi baru ini. Nampaknya Jokowi menyadari hal ini dengan coba menggunakan sarana sosial media, hampir setiap weekend mengunjungi daerah tertentu dan mengundang semua birokrat dari level nasional, gubernur, bupati, walikota untuk bertemu. Namun sekali lagi dalam watktu 100 hari hal ini belum menampakkan hasil. Erat hubungannya dengan ini tentu saja "pergaulan" Jokowi di tingkat nasional masih terbatas. Dia bagai "new kid on the block". Dia harus belajar untuk mendapat "rekan sejalan" dan mempelajari karakter setiap tokoh nasional yang secara langsung juga akan memperlambat proses eksekusi kebijakannya.... Faktor Jokowi Mengapa saya masukkan faktor ini. Ya, justru ini sangat penting. Sebenarnya Jokowi secara pribadi, bukanlah orang yang dengan cepat mengambil keputusan, apalagi jika berhubungan dengan kepentingan banyak pihak. Dia adalah orang yang ingin menghargai proses dalam mengambil tindakan.  Lihat saja gaya mantan walikota Solo ini menyelesaikan masalah PKL di Solo. Untuk sampai dengan tindakan pemindahan dia harus melakukan puluhan atau mungkin ratusan kali pertemuan. Juga ketika menyelesaikan kasus Waduk Pluit, Tanah Abang, Jalan Tol lingkar luar, prosesnya cukup panjang. Lobby “makan” adalah andalannya. Nampaknya walau dia yakin sudah benar namun ada kecenderungan untuk sabar menerima berbagai masukan. Memang ada yang dengan cepat dia putuskan, seperti membangun MRP, Monorel, penenggelaman kapal illegal dan hukuman mati gembong narkoba. Untuk kasus-kasus ini nampaknya dia sudah cukup yakin. Tapi sekali lagi “gaya” mengikuti  proses ini adalah hal yang bisa dinilai sebagai sikap lamban. Mungkin ada faktor-faktor lain lagi, namun bagi saya faktor-faktor di ataslah yang paling utama menyebabkan Jokowi menjadi lamban.  Tentu dengan mengemukakan ini saya tidak berpretensi untuk mendukung kelambanan itu. Sebagai rakyat kita tetap menginginkan seorang Presiden  yang trengginas, cepat dan tepat mengambil keputusan serta bisa melakukan pembangunan yang cepat dinikmati oleh rakyat….. Mudah-mudahan kelambanan ini tidak berlangsung terus tapi ibarat mendorong mobil yang hampir mogok, kelembaman awal ini bisa diatasi sehingga dengan tekad dan dorongan yang ada maka prosesnya semakin cepat……MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline