Lihat ke Halaman Asli

Kasus Hukum Ekonomi Syariah: Sengketa Waris

Diperbarui: 1 Oktober 2024   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu masalah atau kasus ekonomi syariah yang ada di tengah masyarakat adalah sengketa waris yang melibatkan seorang ibu bernama Kalsum dan anaknya, Mahsun, di Nusa Tenggara Barat (NTB). Berikut adalah analisis terkait kaidah-kaidah, norma-norma, aturan hukum, serta pandangan aliran positivisme hukum dan yurisprudensi sosiologi.

Kasus Sengketa Waris

Kasus ini bermula ketika Kalsum kehilangan suami yang meninggal dunia. Kalsum menerima warisan berupa tanah seluas 4.000 meter persegi. Namun, putranya, Mahsun, tidak memberikan Kalsum uang hasil penjualan tanah tersebut secara adil.

Mahsun menjual tanah warisan Kalsum senilai Rp240 Juta dan hanya memberikan Rp15 juta kepada Kalsum. Uang Rp15 juta itu kemudian dipinjamkan kembali oleh Mahsun untuk membeli motor. Kalsum merasa dirugikan dan tidak diberikan uang yang seharusnya diterimanya sebagai waris.

Kalsum melaporkan Mahsun ke polisi karena dugaan pelanggaran tindak pidana penggelapan harta warisan. Pengacara Kalsum, Anton Hariawan, mengatakan bahwa Kalsum tidak diberikan uang hasil penjualan tanah sesuai dengan tatanan ilmu faraid atau pembagian warisan. Mestinya, Kalsum mendapat setengah dari nilai harta suaminya, tetapi tidak ada uang yang diberikan kepadanya.

Kaidah-Kaidah Hukum yang Terkait

1. Hukum Waris Islam: Mengacu pada ajaran Al-Qur'an dan Hadis, hukum ini menentukan pembagian warisan berdasarkan prinsip faraid, di mana setiap ahli waris memiliki hak yang telah ditentukan secara jelas. Ayat-ayat dari hukum ini adalah: 

  • Surat An-Nisa Ayat 11 dan 12 : Menjelaskan pembagian harta warisan kepada ahli waris, termasuk bagian bagi laki-laki dan perempuan.
  • Surat An-Nisa Ayat 176 : Menegaskan bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris yang memiliki hubungan nasab.

2. Hukum Perdata (KUH Perdata) : pembagian harta waris bagi mereka yang tidak beragama Islam. Dalam Pasal 830 hingga Pasal 1130 KUH Perdata dijelaskan mengenai siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagaimana pembagiannya dilakukan. Hukum ini tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak waris.

3. Hukum Waris Adat : Beragam tergantung pada suku atau daerah tertentu. Hukum adat sering kali tidak tertulis dan mengacu pada tradisi serta norma masyarakat setempat.

Norma-Norma Hukum Yang Terkait Kasus Ini Adalah: 

1. Pasal 852 KUH Perdata : Menyatakan bahwa keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, berhak menjadi ahli waris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline