Lihat ke Halaman Asli

UN Bagai Kabut Penghalang Tujuan Masa Depan Siswa-siswi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah hampir sebulan sejak UN tingkat SMA berlalu. Seharusnya hari-hari ini saya lewati dengan kelegaan. Namun, segalanya bertolak belakang dengan apa yang semestinya. Hari-hari ini justru saya lewati dengan kegelisahan. Perasaan saya dihantui oleh rasa takut, takut jika tidak lulus UN.

Mungkin bukan hanya saya yang merasakan hal ini. Saya yakin banyak siswa-siswi di luar sana yang merasakan hal serupa. Salah satu contoh nyatanya adalah teman sekolah saya sendiri. Setelah UN berakhir, karena takut tidak lulus, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengistirahatkan otak sejenak dan melakukan hal bermanfaat lainnya, justru ia gunakan untuk mempelajari ulang materi-materi UN. Katanya, semua itu dilakukannya untuk berjaga-jaga, agar tidak lupa dengan materi-materi tersebut, untuk persiapan mengikuti Program Kejar Paket C kalau ia tidak lulus. Saya hanya bisa tertawa miris dalam hati mendengar hal itu. Tidak tega melihat teman saya merasa stress karena UN.

Masih saya ingat dengan jelas pula bagaimana rasanya saat mengikuti UN. Saat itu perasaan saya dibayangi oleh rasa takut, gelisah, dan stress. Semuanya tercampur aduk menjadi satu. Soal UN yang menurut saya jauh dari kata wajar itu hampir menjebol benteng pertahanan kejujuran saya. Saat itu saya sedang berada di dalam toilet. Saya dengar di luar sana siswi-siswi sekolah saya datang bergerombol. Mereka menutup pintu toilet rapat-rapat dan saling berbisik. “Kita hafalin ini, pasti tembus,” kata salah seorang siswi pada teman-temannya. Lalu, ia pun membacakan beberapa huruf secara acak antara ‘A’ sampai ‘E’. Beberapa saat kemudian baru saya sadari bahwa mereka sedang menghafalkan kunci jawaban listening bahasa inggris, walau hanya lima belas nomer, namun, itu sangat berpengaruh besar terhadap nilai. Dari balik pintu, saya hampir goyah, saya sempat berpikir untuk menguping dan ikut menghafalkan kunci jawaban tersebut. Tetapi, saya cepat-cepat menggelengkan kepala, saya ingin tetap jujur walaupun saya ini bukanlah golongan murid pintar, dan saya akui diri saya ini memang cenderung bodoh dalam bidang akademik. Saya tidak ingin meracuni hidup saya dengan ketidakjujuran.

Jangan salahkan saya karena saya hampir saja masuk ke lubang setan, hampir mengikuti jalan sesat dengan menghafal kunci jawaban. Walau kata-kata saya ini akan terdengar sedikit kasar, namun, menurut saya ini benar. Salahkan saja semua soal-soal UN itu! Hari pertama, ketika menjalani UN Bahasa Indonesia dan Geografi, saya masih bisa mengerjakan soal-soal tersebut, walau tak bisa dikatakan mudah pula. Hari kedua, saat UN matematika, saya mebelalakkan mata, kaget setengah mati dengan model soal yang menurut saya di luar batas kewajaran. Hari ketiga, saat UN Ekonomi, saya sempat terpatung di tempat beberapa saat, otak saya serasa mati rasa karena ada beberapa istilah dalam soal tersebut yang tidak pernah saya pelajari dan tak pernah saya dapatkan materinya.

Betul memang kata Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat bahwa materi UN tahun ini sesuai dengan SKL yang ada. Namun, model soal yang seperti itu tidak pernah saya dapatkan dan temui sebelumnya. Saya sangat kesulitan menjawab soal-soal itu, untuk UN matematika saja, dari 40 soal yang ada saya hanya dapat menjawab dengan yakin 15 soal. Saya memang bodoh. Ya, saya ulangi, saya memang bodoh, saya tak sepintar teman-teman saya. Tetapi, jika model soalnya tidak seperti itu, hasilnya tak akan separah ini.

Separah apa sampai-sampai saya tega mengatakan demikian? Parah sekali karena soal-soal tersebut berstandar internasional. Dan lebih parahnya lagi, kami sama sekali tidak pernah diberitahu tentang hal itu. Seharusnya Kemendikbud mensosialisasikan hal ini jika benar-benar ingin menerapkan soal berstandar internasional. Seharusnya mereka memberikan kami contoh-contoh model soal yang akan keluar dalam UN, bukannya menutup mata dan membiarkan kami mepelajari soal-soal yang ternyata berbeda jauh dari soal yang diujinasionalkan. Kalau sedikit lebih susah mungkin bukan masalah besar, tetapi soal tahun ini benar-benar berbeda jauh dari soal tahun lalu, jauh lebih susah. Bukankah bayi saja tidak dapat berjalan jika tidak pernah mencoba untuk mempelajari cara berjalan, dan anak singa di hutan tidak akan dapat memangsa jika tidak pernah belajar bagaimana caranya untuk memangsa, bagaimana bisa kami menjawab soal tersebut jika tak pernah mempelajarinya?

Ketika UN berakhir, seluruh siswa-siswi di sekolah saya berteriak senang, “Bebassss...”

Mereka bersorak gembira, tertawa bersama, seolah-olah mereka telah terbebas dari belenggu yang selama ini mengekang mereka. Saya sama seperti mereka, merasa lega. Namun, segalanya belum benar-benar berlalu. Semua itu hanya hampir berlalu dan benar-benar akan berlalu jika saya bisa lulus UN. Sungguh, hari-hari setelah UN tak saya lalui dengan kelegaan yang utuh, masih ada kecemasakan akan hasil UN itu.

Sebenarnya, saya tak ingin mengingat masa lalu, tak ingin mengungkitnya kembali. Namun, membaca berbagai berita, artikel, opini, dan komentar mengenai dampak buruk dan keburukan UN, saya tak bisa tinggal diam, saya jadi ingin berjuang bersama mereka, menolak UN, menolak hal yang saya dan mereka yakini tidak diperlukan oleh negara ini. Menghapuskan yang tidak perlu untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. Dengan masih berjalannya UN, bagaimana nasib adik saya, adik kelas saya, keturunan-keturunan kami kelak? Saya tidak ingin mereka merasakan hal yang sama dengan apa yang saya dan siswa-siswi lain rasakan.

Hal yang paling saya pikirkan selama ini adalah apakah dengan dijalankannya UN akan mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih baik, dan apakah UN tersebut benar-benar bermanfaat bagi seluruh peserta didik. Sekian lamanya berbagai argumentasi terus berputar-utar dalam pikiran saya. Yang sejak dulu ingin sekali saya curahkan. Tetapi, tak pernah tercurahkan karena pikiran saya yang kacau saat itu, saya stress, depresi, saya merasa hampir gila karena UN. Dan sekarang, otak saya serasa ingin meledak. Tak kuat menampung semuanya. Saya ingin mencurahkan segalanya.

Saya selalu merasa bahwa UN itu bagaikan kabut yang menghalangi tujuan masa depan siswa-siswi. Bukankah bakat dan minat setiap orang berbeda-beda? Bagaimana bisa Kemendikbud menjadikan UN sebagai tolok ukur kemampuan kami? Hal ini sangatlah tidak adil. Setiap hari kami terpaksa memfokuskan diri untuk persiapan mengikuti UN. Semakin dekat dengan waktu pelaksanaan UN, semakin fokus pula kami dengan materi UN yang ada. Yang ada di pikiran kami hanya UN. Sebenarnya apa tujuan masa depan kami? Mengapa kami harus terus fokus pada UN, UN, dan UN. Seakan-akan tujuan masa depan dan cita-cita kami itu tidaklah penting. UN seakan-akan menjadi monster yang terus mengejar dan tak memberikan waktu kepada kami untuk berpikir lebih matang tentang apa tujuan masa depan kami dan cita-cita kami kelak di kemudian hari. Untuk saya dan mereka yang telah mengetahui tujuan masa depan dan cita-cita tersebut, sebenarnya tak terlalu bermasalah. Namun, bagaimana dengan mereka yang belum mengetahui arah tujuan mereka? Dengan adanya UN, kami hanya difokuskan untuk mencapai hasil yang terbaik dalam UN, bukan tujuan masa depan kami.

Pendidikan yang baik dan berkualitas seharusnya membantu mengarahkan siswa-siswinya menuju tujuan masa depan dan cita-cita mereka tersebut, bukannya menutup arah pandangan mereka dengan diadakannya UN. Kalau mereka salah memilih karena arah pandangan yang tak jelas dan berkabut tersebut, siapa yang patut untuk disalahkan? UN-lah yang patut untuk disalahkan.UN seharusnya segera dihapus agar tak menghalangi arah pandang mereka. Bagi mereka yang bakat, minat, dan cita-citanya berhubungan dengan materi dalam UN, memang akan merasa diuntungkan. Namun, bagaimana dengan mereka yang bakat, minat, dan cita-citanya tidak berhubungan dengan materi UN?

UN telah menyita dan merampas waktu kami yang berharga. Waktu yang berharga itu seharusnya kami gunakan untuk mengembangkan bakat, minat, dan mematangkan rencana bagi tujuan masa depan kami. Bukan untuk mempelajari UN yang belum tentu berguna dan belum tentu dapat kami terapkan dalam kehidupan kami di dunia nyata ini.

Kemendikbud berkata bahwa UN berguna sebagai pemetaan agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, menurut saya cara ini tidaklah efektif. Jangan gunakan cara yang merugikan siswa seperti ini. Saya ulangi sekali lagi, bakat dan minat setiap orang itu berbeda-beda. Apakah siswa yang mendapatkan nilai jelek dalam ekonomi dapat dikatakan bodoh? Siapa yang tahu jika ia memiliki bakat yang luar biasa sebagai ahli hukum. Apakah siswa yang mendapatkan nilai jelek dalam biologi dapat dikatakan bodoh? Siapa yang tahu jika ia memiliki bakat yang luar biasa di bidang seni. Dan apakah siswa yang tidak bisa matematika dapat dikatakan bodoh? Siapa yang tahu jika ia memiliki kemampuan luar biasa di dunia kepenulisan.

Apakah UN tersebut berguna bagi siswa-siswi secara keseluruhan? Tidak. Tolonglah Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya mohon dengan sangat, jangan memandang hal ini secara sempit, pandanglah secara luas dan mendetil. Maaf jika kata-kata saya ini lancang dan tak sopan, karena saya sedang stress karena UN yang bapak pertahankan itu. Hingga membuat saya tak dapat berpikiran jernih. Namun, bukan berarti saya menuliskan segala argumentasi dan curahan isi hati ini secara sembarangan. Karena ini berasal dari lubuk hati saya yang terdalam.

UN sangat tidak efektif dan merugikan siswa. Jika ingin mendapat data yang lebih akurat untuk pemetaan dan tidak merugikan siswa, menurut saya, lakukan saja survei lapangan. Jangan mengorbankan kami untuk hal yang sebenarnya belum tentu bermanfaat dan tak berdampak positif bagi kami.

Sepertinya, selama ini Kemendikbud cenderung tidak peduli dengan masukan serta saran dari para pelajar. Hanya karena merasa lebih lama menginjakkan kaki di dunia ini, Kemendikbud jadi merasa lebih tahu segalanya dan lebih benar ketimbang kami. Yang mengikuti UN itu kami, bukan Kemendikbud. Kamilah yang berjuang dan merasakan bagaimana proses UN yang sesungguhnya. Jadi, kamilah yang lebih tahu bagaimana rasa dan dampaknya bagi kehidupan kami. Cobalah untuk mengerti ini dari sudut pandang kami. Bukankah orang tak akan tahu dan mengerti sebelum merasakan proses yang sebenarnya? Kalau hanya melihat dan mengawasi tanpa pernah tahu bagaimana rasanya, bagaimana bisa mengerti?

Tulisan ini bukan pembelaan diri saya. Jangan menganggap bahwa saya menuliskannya karena saya bodoh dan tidak mampu mengerjakan UN. Jangan menganggap bahwa saya melakukan protes karena malas mepelajari materi UN. Saya memang bodoh dalam bidang akademik. Tetapi, saya peduli pada negara ini. Saya peduli pada mereka yang berjuang untuk menolak UN, saya ingin mengikuti langkah mereka. Karena sebenarnya, yang saya inginkan hanyalah pendidikan Indonesia yang lebih baik, pendidikan yang mendukung bakat dan minat serta tujuan masa depan siswa-siswi di Indonesia, bukan menjadi kabut penghalang dalam pencapaian tujuan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline