Lihat ke Halaman Asli

Damai Itu Ada

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="" align="alignleft" width="300" caption=""Damai" Puncak kebahagiaan abadi Illustrasi: fendra.blogsome.com "][/caption] Telah sekian lama kedamaian itu terusik. Tidak ada lagi cinta ataupun ceria. Tidak ada lagi suka ataupun sayang. Yang ada hanya keributan dan marah. Tunjuk dan tuding pun tiada henti. Membuat semua menjadi capek dan lelah. Mungkinkah damai yang sering diimpikan itu nyata?! Apakah damai itu pun hanya sebuah ilusi dan kepalsuan?! Seseorang pernah berkata bahwa bila otot dan besi menyatu maka darah pun berhenti mengalir. Semua yang ada di dalam tubuh seakan menjadi mati dan tidak lagi bisa bergerak serta berjalan meskipun semuanya telah mendidih. Membelenggu hati dan pikiran pada sebuah puncak kesakitan. Menjadikan roh serta jiwa yang seharusnya menghidupkan itu kering kerontang tak terurus. Seseorang yang sedang marah bisa saja tampil penuh senyum. Namun mata tetap tidak bisa dibohongi. Kata dan bahasa tubuh pun tetap tidak bisa menipu. Mungkin ada yang tertipu, banyak malah. Jangan lupa, ada banyak juga yang tidak bisa tertipu. Inilah yang kemudian sering menimbulkan masalah. Segala sesuatu yang dipendam dan tidak jujur pasti akan mencuat ke permukaan. Entah kapan waktunya, tetapi makin dipendam makin hancur. Makin tidak jujur makin tambah hancur juga. Sadar disadari. Diakui tidak diakui. Para psikolog pun mengatakan bahwa mereka yang diliputi marah tidak akan pernah bisa berpikir dengan jernih. Sama sekali tidak membuat keputusan dengan benar. Menyesal kemudian pada saat amarah itu reda sudah biasa. Yah, namanya juga manusia. Cuma bisa berharap agar penyesalan itu bukan hanya sekedar di mulut namun alangkah baiknya bila dijadikan pembelajaran. Hidup harus terus berjalan bukan?! Apa enaknya mati karena marah?! Seseorang yang lain pernah berkata bahwa hujan yang turun akan menghapuskan semuanya. Membersihkan diri dari segala angkara dan murka. Melenyapkan duka dan juga nestapa. Namun sepertinya hujan deras disertai angin topan dan badai pun tidak bisa serta merta menyapu semuanya. Entah apa yang ada di dalam benak itu, yang membuat luka tetap tak pernah mau pergi juga. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Mana ada yang tidak pernah?! Sayangnya, lebih banyak yang tidak mau mengakui. Selalu merasa benar dan kemudian menjadi defensif serta melakukan pembelaan diri. Membuat berbagai pembenaran untuk mengaburkan masalah yang sebenarnya terjadi. Apa yang terjadi dengan lumpur Lapindo?! Apa yang sebenarnya terjadi di balik kasus Century?! Bagaimana juga dengan perang antara Israel dan Palestina?! Lebih parahnya lagi, banyak di antara kita yang hidup di masa lalu. Terus saja berkutat dengan suramnya masa yang silam. Tidak mau juga melepaskan diri dari segala kesalahan ataupun marah yang pernah ada. Dendam menjadi kesumat. Balik lagi, deh, apa bisa orang yang memiliki dendam berpikir jernih?! Ribut saja terus soal prasangka dan praduga. Bukannya maju ke depan untuk yang lebih baik, ini malah asyik saja terus di sana. Langkah-langkah yang diambil pun bukan untuk masa depan lebih baik. Maju, sih, maju, tapi nanti di tengah jalan hancur berantakan. Bagaimana dengan peristiwa Trisakti dan kasus Semanggi?! Apa sudah bisa diselesaikan?! Seseorang juga pernah berkata bahwa kata adalah pedang yang paling tajam dan mematikan. Mungkin inilah juga yang menjadikan kata sebagai awal dan akhir dari setiap kejadian yang terjadi. Kata terus diungkapkan dan dijadikan senjata perdebatan yang tak pernah ada habisnya. Apa mungkin kekerasan, peperangan, dan keributan itu datang dengan sendirinya?! Salah persepsi atas kata selalu saja membuat masalah. Jangankan kata manusia, kata mereka yang "lebih" dari manusia pun malah yang paling sering membuat masalah. Habis mengartikannya hanya pakai mata dan telinga saja, sih?! Merasa sudah benar bila sudah masuk di akal pula. Semuanya harus bisa dibuktikan. Coba mengartikannya pakai hati, pasti beda ceritanya. Apa jangan-jangan hatinya sudah hancur berkeping dan hilang terhapus air hujan?! Selain itu, kenapa, manusia malas sekali belajar?! Belajar sendiri maksudnya. Betah banget menerima "katanya". Kata Si A, kata Si B, kata Si C. Menurut buku yang ini, buku yang itu, dan buku yang lainnya. Giliran memberikan pendapat atas pemikirannya sendiri bingung. Harus selalu ada yang dijadikan tameng. Semuanya menjadi labil dan tidak kuat. Dasarnya saja tidak kuat, bagaimana mau dibangun sampai langit ke tujuh?! Betah banget masturbasi otak?! Heran saya?! Benar juga ucapan seseorang lainnya yang mengatakan bahwa semua ini adalah bukti bahwa manusia itu sebenarnya sangat rapuh. Kata pun bisa membunuh manusia dengan mudahnya. Ibarat gelas terjatuh, manusia bisa hancur berkeping-keping dihancurkan kata. Menjadi butiran halus tak nampak dan tak tersisa. Kapankah semua ini akan berakhir?! Sudah tahu rapuh, kenapa dong, tidak mau menjadi kuat?! Malah asyik saja perang dan terus perang. Mencoba memutarbalikkan fakta dan kenyataan yang ada. Tidak pernah mau juga menerima yang sebenarnya. Jujur pun sulit sekali. Ketemu pula dengan marah dan dendam. Makin parah saja. Lebih serunya lagi, kalau kemudian ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Memprovokasi dan membuat yang rapuh menjadi semakin rapuh. Mempolitisir keadaan untuk membuat semuanya menjadi lebih kacau. Siapapun yang tidak memiliki kemampuan untuk menopang dirinya sendiri akan sangat mudah terjerumus. Perang pun terus berlanjut meskipun damai itu seolah-olah ada. Menjadikan damai itu hanya sebatas ilusi dan kepalsuan belaka. Bagaimana dengan keadaan di Negeri Serambi?! Bagaimana juga dengan di Ambon dan Papua?! Bagi saya, hidup ini adalah untuk terus belajar dan belajar agar perjuangan yang saya lakukan tidak pernah berhenti dan dapat terus berlanjut. Tidak ada keraguan sedikit pun tentang damai ataupun kedamaian. Menurut saya, prinsip serta kebenaran harus terus dipegang teguh. Kejujuran dan berani mengambil sikap serta bertanggung jawab atas semua komitmen yang telah diutarakan adalah keharusan. Saya ingin maju dan terus maju. Apalah artinya nilai damai di mata manusia bila damai tidak ada di dalam hati?! Damai itu ada. Jangan jadikan perang atau damai menghentikan langkah. Apalagi bila itu semua hanya keraguan di mata manusia. Anggap saja sebuah distorsi suara yang sumbang tak jelas dan tak karuan. Jadilah diri sendiri. Nilai manusia tidak ada artinya. Perang dan damai hanya kita sendiri yang bisa merasakan dan menjadikannya. Cinta adalah segalanya. Cinta yang sesungguhnya. Biarlah cinta itu ada dan ada selalu. Silahkan memilih. Semoga bermanfaat!!! Salam Kompasiana, Mariska Lubis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline