Lihat ke Halaman Asli

“Ibu! Apa Salah Saya, Bu?”

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="alignleft" width="88" caption="MARISKA LUBIS"][/caption] TERIAK seorang bayi yang baru saja digugurkan dari dalam kandungan ibunya. “Apakah engkau tidak sayang? Apakah engkau tidak ingin melihat saya? Apakah engkau tidak ingin menimang dan meninabobokan saya? Apa engkau tidak ingin, Bu?” Teriakan itu selalu terdengar dengan sangat kerasnya di telinga saya setiap kali mendengar ada seorang ibu yang mengugurkan kandungannya. Begitu juga setiap kali ada yang membuang dan menelantarkan anaknya begitu saja di tempat sampah ataupun di tempat-tempat yang tidak pantas lainnya. “Mengapa engkau tidak memberikan saya kesempatan untuk menikmati rasanya air susumu, ibu? Apakah saya tidak boleh merasakan pelukan dan belaian kasih sayangmu, Bu? Mengapa engkau meninggakah saya, Bu? Apa salah saya? Ibuuuuu……!!!” Pedih rasanya hati ini. Serasa ditusuk-tusuk jutaan jarum yang menghujam bertubi-tubi. Air mata pun sulit untuk dibendung. Berlinang tumpahan tetes air mata di pipi. Jahat!!! Kejam!!! Pembunuh!!! Tidak bermoral!!! Pendosa!!! Haram!!!! Tiba-tiba terdengar sebuah suara merintih dan memelas dengan sangat pelan dan lembut. “Nak, saya sangat menyayangimu. Saya sangat mencintaimu. Kamu tidak bersalah, Nak! Ini semua adalah kesalahan saya. Ingat, ya, sayang, saya selalu mencintaimu. Biarlah ibu yang menanggung semua rasa malu dan sakit. Ibu hanya tidak ingin engkau turut merasakan apa yang ibu rasakan. Kemiskinan. Duka. Nestapa. Cemooh. Tidak rela rasanya ibu melihat kamu mendapat predikat sebagai anak haram seumur hidup. Tidak, sayang! Kamu tidak boleh merasakan itu semua!!!” Hiks… hiks… hiks…!!! Saya pun membalas suara itu, “Sebegitu kejamnyakah saya memperlakukanmu, Bu? Sebegitu jahatnyakah saya sampai tega berpikir bahwa ibu adalah orang yang kejam dan tidak berperasaan? Sebegitu piciknyakah saya sampai saya tidak bisa berpikir bahwa Ibu adalah seorang pendosa dan saya adalah seorang malaikat? Maafkan saya, Bu! Maaf!” Sebuah perdebatan di dalam pikiran saya yang berkecamuk sedemikian hebatnya. Peperangan antara pikiran dan suara hati yang begitu meriah dan bergelora di dalam tubuh saya. Menggugurkan seorang anak yang tidak berdosa merupakan perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Keji dan tidak berperikemanusiaan. Sementara itu, pesimis memikirkan masa depan seorang anak juga perbuatan yang sangat alami. Apalagi ditambah dengan himpitan ekonomi dan keras serta kejamnya dunia. Sepanjang hidup anak yang lahir tanpa orang tua yang lengkap akan mendapat predikat sebagai anak haram. Anak di luar nikah, bahasa halusnya dalam surat kenal lahir yang diterbitkan pemerintah. Menyalahkan orang lain cenderung menjadi kesenangan bagi sebagian orang. Menghina, mencemooh, mencibir adalah hiburan dan menjadi menu keseharian. Kalau memang kita merasa benar, mengapa tidak berani untuk berkaca? Melihat dan mempertanyakan apa yang telah kita perbuat? Mempertanyakan kebenarannya? Mempertanyakan pula, apa sebetulnya yang telah kita lakukan atas nama kebaikan dan kebenaran itu, selain dari menghujat, menghukum, dan memberi predikat buruk? Hmmm….(asa) Salam Kompasiana, MARISKA LUBIS. Kunjungi Kami di: www.mariskalubis.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline