Lihat ke Halaman Asli

Mendayung Khatulistiwa

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_76812" align="alignleft" width="225" caption="Illustrasi: www.allposters.com"][/caption] Cinta pertama tak terlupakan. Segala rasa yang ada tercurahkan hanya untuk dirinya seorang. Sayang kemudian terpisahkan oleh karena ketidakmengertian dan ketidakpahaman serta keegoisan. Jarak pun menjadi jurang pemisah. Namun cinta itu tidak pernah hilang terkikis oleh waktu. Masih ditunggu dan dinantikan. Biarpun sepertinya sudah tidak ada harapan, tetapi selalu ada dan ada selalu. Kerinduan untuk bertemu dan meluapkan cinta serta kerinduan itu pun menjadi sebuah janji. Jejaka mendayung. Perawan menanti. Pertemuan di sebuah masa. Di sebuah tempat di khatulistiwa. Jejaka: "Mungkinkah?" Perawan: "Kenapa tidak?" Jejaka: "Bagaimana?" Perawan: "Bagaimana seharusnya?" Jejaka: "Entahlah..." Perawan: "Saya tunggu." Peperangan berkecamuk di dalam hati dan sanubari. Besar keinginan tidak tahu ke mana angin berhembus. Tanggung jawab menjadi batu dan duri. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Masihkah ada harapan? Peperangan berkecamuk di dalam hati dan sanubari. Besar keinginan tidak tahu ke mana angin berhembus. Tanggung jawab menjadi batu dan duri. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Masihkah ada harapan? Jejaka: “Aku dan kau satu.” Laut: “Bruurrrrr……” Jejaka: “Meski kau disana dan aku disini, kita satu. Ombak: “Gruemmmmmmmmm….” Jejaka: “Sekalipun kau remuk, tetap satu.” Angin: “Ssttttttttttttt…..” Jejaka: “Ya, tetap satu. Sampai kita satu.” Jejaka: “Aku pergi, menjemput kekasih. Mendayung. Dengan tanganku ke batas khatulistiwa.” Malam merangkak bersama gerak. Angin menerjang bersama gelap. Ombak menari berpegangan pasir. Gairah cinta tersangkut di batas khatulistiwa. Bertemu kekasih adalah keindahan yang tiada terkira. Di tepian pasir dari sebuah rumah berlampu kecil sebuah alunan menemani perjalanan: Biarkan waktu melepas pegangan Jemari kita tetap menyatu di belahan hati Biarkan jarak memisahkan kita Rindu jiwa terus memeluk cinta dihati oh… oh….oh….de…de….de…di…di…di…do..da Ku dayung hati, Ku simak angin Mendayung hingga ke batas waktu Di pelabuhan cinta Kita bertemu oh… oh….oh….de…de….de…di…di…di…do..da Di atas elang malam menari mematuk lupa dan jejaka merapatkan tubuh ke selimut malam sambil meneguk anggur kerinduan yang terus mendahaga jiwa. Salam Kompasiana, Mariska Lubis & Risman A. Rachman NB: Tulisan ini dibuat oleh kami berdua untuk seorang sahabat yang berteman dengan malam dan tikus liar serta para kampret di malam hari... "Take it or leave it, babe!!!"




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline