Sistem peradilan pidana di Indonesia tengah dihadapkan pada masalah serius yaitu tingginya angka kesalahan dalam menghukum orang yang tidak bersalah. Fenomena ini bukan hanya pelanggaran terhadap prinsip keadilan, namun juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Kasus-kasus salah hukum yang semakin sering terjadi, yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurangnya bukti yang kuat, kesalahan identifikasi, dan kelemahan prosedur hukum, telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi korban dan masyarakat secara luas. Kehilangan kebebasan, reputasi, dan kesempatan untuk hidup normal adalah beberapa konsekuensi yang harus ditanggung oleh mereka yang menjadi korban salah hukum.
Salah hukum, atau error in persona, adalah kesalahan fatal dalam sistem peradilan di mana seseorang yang tidak bersalah dihukum atau ditangkap karena kesalahan identitas, bukti yang salah, atau penerapan hukum yang keliru. Korban salah hukum tidak hanya mengalami kerugian materiil akibat penahanan dan proses hukum yang panjang, tetapi juga mengalami trauma psikologis dan stigma sosial yang mendalam. Kejadian ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip dasar hukum, yaitu praduga tak bersalah. Beberapa jenis kesalahan yang sering terjadi antara lain kesalahan identifikasi, kesalahan dalam pengumpulan dan penilaian bukti, serta kesalahan dalam penerapan hukum itu sendiri.
Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, antara tahun 2016 hingga 2022, terdapat 11 kasus dugaan salah tangkap yang ditangani di wilayah Jabodetabek. Kasus-kasus ini mencakup berbagai jenis kesalahan dalam proses penegakan hukum, termasuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi oleh aparat kepolisian. Selain itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat bahwa selama periode Juni 2020 hingga Mei 2021, ada 80 kasus penyiksaan yang melibatkan kepolisian sebagai aktor utama dalam 36 kasus. Data terbaru menunjukkan bahwa dari Juli 2021 hingga Juni 2022, terdapat peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan menjadi 677 kasus, menandakan tren yang mengkhawatirkan dalam praktik salah hukum di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam penegakan hukum bukan hanya masalah individual, tetapi merupakan fenomena yang lebih luas yang memerlukan perhatian serius.
Beberapa studi kasus nyata menggambarkan berbagai jenis kesalahan dalam proses peradilan yang terjadi di Indonesia:
- Kasus Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto (2013): Kedua pengamen ini ditangkap atas tuduhan pembunuhan yang tidak mereka lakukan. Penangkapan mereka menunjukkan kesalahan identifikasi yang fatal, di mana pihak kepolisian keliru mengaitkan mereka dengan kejahatan tersebut tanpa bukti yang kuat. Kasus ini menjadi sorotan karena menunjukkan lemahnya prosedur penyidikan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
- Kasus Budi Santoso: Setelah menjalani delapan tahun penjara atas tuduhan pencurian, Budi akhirnya dibebaskan ketika bukti rekayasa terungkap. Kasus ini menunjukkan kesalahan bukti dalam proses peradilan, di mana saksi memberikan keterangan palsu dan bukti forensik tidak valid digunakan untuk menuntutnya
- Kasus di Bekasi (2022): Laporan terbaru menyebutkan adanya dugaan salah tangkap di Bekasi, menambah daftar panjang kasus serupa. Ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam penegakan hukum terus berulang dan memerlukan reformasi sistematis untuk mencegah kejadian serupa di masa depan
Ketika dibandingkan dengan negara lain, angka kejadian salah hukum di Indonesia masih tergolong tinggi. Misalnya, di Amerika Serikat, sebuah studi oleh National Registry of Exonerations mencatat bahwa sejak tahun 1989, lebih dari 2.800 orang telah dibebaskan setelah terbukti tidak bersalah setelah menjalani hukuman penjara. Meskipun angka tersebut tinggi, sistem hukum di AS memiliki mekanisme pemulihan yang lebih baik bagi korban salah hukum dibandingkan dengan Indonesia. Di Inggris, laporan dari The Innocence Project UK menunjukkan bahwa mereka berhasil membebaskan lebih dari 30 orang yang dihukum secara keliru setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan adanya upaya yang lebih efektif dalam menangani kesalahan hukum dibandingkan dengan situasi di Indonesia, di mana perlindungan hukum bagi korban masih sangat lemah dan sering kali tidak memadai. Perbandingan ini menyoroti pentingnya reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia untuk mengurangi angka kesalahan hukum dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.
Kelemahan sistem peradilan pidana Indonesia, seperti kurangnya profesionalisme penyidik, terbatasnya akses terhadap bantuan hukum, dan tekanan politik, berkontribusi signifikan terhadap tingginya angka kesalahan dalam menghukum orang yang tidak bersalah. Kesaksian palsu, manipulasi bukti, dan keterbatasan sumber daya di lembaga penegak hukum semakin memperparah masalah ini. Kasus-kasus seperti Budi Santoso, di mana saksi memberikan keterangan palsu, menunjukkan bagaimana kesalahan-kesalahan ini dapat berujung pada vonis yang salah. Akibatnya, banyak individu yang tidak bersalah harus menanggung akibat dari sistem peradilan yang tidak adil. Keterbatasan sumber daya yang parah, seperti jumlah perkara yang jauh melebihi kapasitas lembaga penegak hukum, memaksa hakim dan penyidik untuk bekerja di bawah tekanan, sehingga kualitas keputusan hukum seringkali terabaikan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Salah hukum menimbulkan dampak yang sangat luas dan merusak. Korban mengalami trauma psikologis mendalam, stigma sosial, dan kesulitan ekonomi. Keluarga mereka juga turut menanggung beban sosial dan ekonomi yang berat. Lebih jauh lagi, kesalahan hukum mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, memicu ketidakpuasan sosial, dan dapat mengancam stabilitas masyarakat. Dampak jangka panjang dari kesalahan hukum ini menuntut reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan pidana untuk memastikan keadilan dan mencegah terulangnya kesalahan serupa.
Untuk memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia, diperlukan langkah-langkah komprehensif. Pertama, kualitas penyidik harus ditingkatkan melalui pelatihan yang memadai dan reformasi hukum acara pidana. Kedua, akses terhadap bantuan hukum harus diperluas, terutama bagi masyarakat kurang mampu. Ketiga, perlindungan bagi saksi dan korban harus diperkuat untuk memastikan mereka dapat memberikan kesaksian secara jujur dan aman. Terakhir, transparansi dan akuntabilitas dalam proses peradilan harus ditingkatkan untuk membangun kepercayaan publik. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, diharapkan sistem peradilan Indonesia dapat menjadi lebih adil dan efektif.
Kita semua paham bahwa betapa pentingnya keadilan. Sayangnya, sistem peradilan kita masih memiliki banyak kekurangan yang menyebabkan orang tidak bersalah menjadi korban. Artikel ini telah membahas panjang lebar mengenai masalah tersebut, mulai dari bagaimana kesalahan hukum dapat terjadi hingga dampaknya yang berkelanjutan. Tetapi akan selalu ada harapan untuk menjadi lebih baik dan kita dapat membuat perubahan bersama-sama. Seperti contoh, dengan mendukung lembaga bantuan hukum, ikut diskusi mengenai perbaikan hukum, atau membela para korban. Setiap tindakan kecil kita dapat membuat perbedaan besar. Ayo kita buat sistem peradilan kita menjadi lebih adil dan manusiawi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H