Lihat ke Halaman Asli

Marisa Fitri

Mahasiswi

Cerpen | Jejak Tanpa Arah

Diperbarui: 22 September 2024   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jejak Tanpa Arah

(Oleh: Marisa Fitri) 

Aku tak ingat kapan terakhir kali menginjakkan kaki di kota ini. Entah sudah berapa tahun berlalu sejak kepergianku, tapi bayang-bayang masa lalu masih sering menghantui dalam diam. Kota kecil di pesisir ini, dengan hiruk-pikuk pasar yang semrawut, aroma laut yang asin, dan suara riuh anak-anak berlarian di gang-gang sempit, masih menyisakan sepotong diriku yang dulu.

Aku kembali bukan karena kerinduan. Lebih tepatnya, karena tak ada lagi tempat lain untuk pulang. Di Jakarta, kehidupan seperti roda besar yang tak pernah berhenti berputar. Aku hanyalah satu dari ribuan, bahkan mungkin jutaan, orang yang terjebak di dalamnya. Aku terseret, terhempas, dan akhirnya terjatuh. Ketika segala hal mulai runtuh, aku memutuskan untuk kembali ke tempat di mana segalanya bermula. Mungkin di sini, di kota kecil ini, aku bisa menemukan kembali diriku yang hilang.

Di sini, aku menginap di sebuah penginapan tua yang terletak di pinggir pantai. Aroma kayu lapuk menyambutku ketika aku pertama kali masuk. Pemiliknya seorang perempuan tua, mungkin berusia lebih dari tujuh puluh, dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih. Wajahnya dipenuhi keriput, namun senyumnya ramah.

"Selamat datang, Nak," sapanya lembut ketika aku menyerahkan KTP untuk check-in. "Kamu pasti orang baru di sini?"

Aku menggeleng pelan. "Saya pernah tinggal di sini dulu, tapi sudah lama pergi."

Perempuan itu mengangguk sambil menyerahkan kunci kamar. "Semoga kamu betah di sini. Pantainya indah, tapi kadang bisa sepi."

Aku mengangguk, kemudian naik ke lantai dua, mencari kamar nomor 205. Kamar itu kecil, dengan sebuah jendela yang menghadap langsung ke pantai. Dari sana, aku bisa melihat ombak yang bergulung pelan, menyapu pasir putih di bawah sinar matahari yang mulai terbenam.

Aku menarik napas dalam, mencoba merasakan kehadiran masa lalu yang dulu pernah kukenal. Namun, rasanya kota ini tak lagi sama. Ada yang berubah, entah itu kota ini atau aku sendiri.

Di malam pertama, aku terjaga lama di tepi jendela, menatap langit gelap yang dihiasi bintang-bintang yang tak terlalu terang. Pantai sepi, hanya suara ombak dan angin yang sesekali terdengar. Rasa sepi itu begitu menyesakkan, mengingatkanku pada banyak hal yang pernah kualami. Aku teringat pada Tia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline