Lihat ke Halaman Asli

Marisa Fitri

Mahasiswa

Diary: Dunia Dalam Satu Kata "Kenangan"

Diperbarui: 24 Agustus 2024   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hari ini dimulai seperti hari-hari lainnya, tetapi berakhir dengan cara yang sama sekali tak terduga. Aku bangun pukul 5 pagi, seperti biasa, mendengarkan suara burung yang berkicau di luar jendela kamar. Aku selalu menikmati momen ini---keheningan pagi yang tenang sebelum dunia mulai bergerak dengan segala hiruk-pikuknya. Ini adalah satu-satunya saat aku merasa benar-benar damai.

Pukul 7 pagi, aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah penugasan selama ppl. Rutinitas yang sama: bangun pagi, mandi kemudian bersiap-siap sebelum mengajar, dan kemudian bergegas menuju depan kampus menanti teman membawaku ke sekolah. Rutinitas ini seharusnya menenangkan, tetapi akhir-akhir ini terasa membosankan. Mungkin karena aku merasa tidak ada lagi yang menantang dalam hidupku.

Hari di sekolah berjalan seperti biasa. Hari ini di sekolah ada kegiatan sabtu budaya, kami berempat memakai pakaian adat Sumbawa, dan semua tampilan siswa-siswi sangat menarik. Namun, entah mengapa, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pukul 10 pagi, ketika aku sedang melihat penampilan tarian sekelompok siswa, membuatku mengingat bahwa dulu aku pernah menari seperti mereka juga. Menyenangkan memang, tapi semuanya sudah menjadi kata: "Kenangan."

Aku membuka email itu dengan sedikit rasa penasaran. Isinya singkat: "Jam 3 sore ini, di taman di seberang gedung kantormu. Akan ada sesuatu yang penting untukmu." Tidak ada nama, tidak ada petunjuk lain. Biasanya, aku akan mengabaikan hal semacam ini, menganggapnya sebagai spam atau lelucon. Tapi hari ini, aku merasa terdorong untuk menuruti rasa ingin tahu.

Pukul 3 sore, aku meninggalkan kantor lebih awal dengan alasan ada urusan mendesak. Taman di seberang gedung kantor adalah tempat yang selalu ramai, tetapi sore ini tampak lebih sepi dari biasanya. Di sana, di bangku kayu yang sedikit tersembunyi di bawah pohon besar, duduk seseorang yang tampaknya sedang menungguku.

Orang itu adalah seorang pria tua dengan rambut putih dan janggut yang panjang. Ia mengenakan setelan hitam yang tampak kuno, seolah-olah ia berasal dari era yang berbeda. Tanpa berkata-kata, ia mengisyaratkan agar aku duduk di sebelahnya. Aku menurut, meskipun seluruh naluri rasional dalam diriku berkata untuk pergi.

Setelah beberapa saat dalam keheningan, pria tua itu mulai berbicara. "Aku sudah menunggumu selama bertahun-tahun," katanya dengan suara yang lembut namun tegas. "Ada sesuatu yang harus kau ketahui, sesuatu yang akan mengubah hidupmu."

Aku hanya bisa menatapnya dengan bingung. "Siapa Anda?" tanyaku akhirnya.

Ia tersenyum tipis. "Namaku bukanlah sesuatu yang penting. Yang penting adalah apa yang akan aku sampaikan padamu." Ia kemudian mengeluarkan sebuah amplop tua dari saku jasnya dan menyerahkannya kepadaku. "Di dalam amplop ini ada rahasia tentang masa lalumu yang selama ini tersembunyi darimu. Rahasia ini akan mengubah cara pandangmu tentang dirimu sendiri dan dunia di sekitarmu."

Tangan aku gemetar saat meraih amplop itu. Di dalamnya, aku menemukan beberapa lembar surat yang sudah menguning oleh waktu. Isinya adalah tulisan tangan, namun bukan dari siapa pun yang kukenal. Surat-surat itu menceritakan kisah seorang pria muda yang hilang dalam perang bertahun-tahun yang lalu, seorang pria yang ternyata memiliki hubungan erat dengan keluargaku. Saat membaca setiap kata, aku mulai mengerti bahwa pria muda dalam surat itu adalah kakekku, yang hilang tanpa jejak ketika ayahku masih kecil.

Namun, yang mengejutkan bukanlah penemuan ini, melainkan pesan di akhir surat yang ditulis dengan huruf besar: "WARISANMU ADALAH KUNCI UNTUK MENGUNGKAP TAKDIRMU."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline