Setelah Pasar Malam, tradisi Dudgeran dilanjutkan dengan prosesi pengumuman awal bulan Ramadhan. Acara ini diakhiri dengan kirab budaya Warak Ngendok, yang merupakan hewan mitologi perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala dan buraq di badannya. Makna dari maskot ini adalah warak yang sedang bertelur, yang di masa lampau menjadi simbol kesucian dan harapan pahala di hari lebaran. Puncak perayaan tradisi Dudgeran adalah ketika masyarakat berkumpul di Alun-Alun Masjid Kauman. Di tempat ini, kata sambutan dan pengumuman awal bulan Ramadhan disampaikan oleh Bupati Semarang dan Imam Masjid Besar. Setelah pengumuman, masyarakat kemudian melakukan doa bersama-sama untuk memohon ampunan dan perlindungan Allah SWT. Tradisi Dudgeran tidak hanya sekedar perayaan, Dugderan juga memiliki makna filosofi yang mendalam. Bunyi bedug yang dipukulkan sebanyak 17 kali digunakan sebagai penanda awal bulan puasa, sedangkan bunyi meriam yang diiringi sebanyak tujuh kali merepresentasikan kebahagiaan di akhir bulan puasa dan datangnya Idul Fitri. Letusan mercon dan kembang api sebagai penutup acara merupakan simbol kebahagiaan dan sukacita yang dirasakan oleh masyarakat Semarang. Tradisi Dudgeran telah menjadi warisan budaya tak benda Indonesia yang patut dilestarikan. Tradisi ini bukan sekadar pesta menyambut Ramadan, juga menggambarkan bagaimana pemerintah dan warga guyub bersatu demi menjaga kesucian bulan Ramadhan. Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menegaskan bahwa tradisi Dudgeran merupakan warisan leluhur yang wajib dilestarikan agar generasi masa depan masih dapat merasakan sukacita dan makna rfilosofi di balik acara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H