Lihat ke Halaman Asli

MARISA FITRI

Mahasiswi

Cerpen: Embun Penenang Sesaat

Diperbarui: 21 Desember 2024   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setetes Embun Pagi: Pixabay

Dini hari selalu menghadirkan ketenangan yang berbeda bagi Aini. Udara dingin yang merasuk hingga tulang, aroma tanah basah, dan suara jangkrik yang sesekali terdengar di sela-sela keheningan. Setiap kali, ia duduk di depan jendela kecil kamarnya, menatap embun yang perlahan mengendap di dedaunan.

Namun pagi itu berbeda. Embun di luar jendela seolah tidak cukup menenangkan hati yang berkecamuk. Sudah lima bulan berlalu sejak tragedi itu, tetapi rasa sesak masih menghimpit seperti kemarin.

Aini memejamkan mata, berharap suara desahan angin dan detak jam tua di sudut ruangan bisa mengusir bayangan malam itu. Namun, seperti biasa, semua kembali seperti film yang diputar ulang: mobil hitam, kilauan lampu jalan, dan jeritan terakhir yang menggema dalam pikirannya.

Kafe kecil di ujung jalan menjadi tempat favorit Aini dan Hana. Setiap Sabtu sore, mereka bertemu di sana untuk mengobrol, berbagi cerita, atau sekadar menikmati segelas cokelat panas. Hana selalu membawa buku catatan kecilnya---tempat ia mencurahkan mimpi-mimpi yang ingin dicapainya.

"Aku ingin pergi ke pegunungan Alpen," ujar Hana suatu sore, sambil menggambar puncak-puncak bersalju di buku catatannya.

Aini tertawa kecil. "Jangan lupa ajak aku. Aku juga ingin lihat salju."

"Tentu saja! Kau tidak akan kubiarkan ketinggalan."

Tapi mimpi itu kini hanya tersimpan di lembaran kertas, bersama dengan nama Hana yang tidak lagi bisa dipanggil.

Hana adalah tipe yang selalu hati-hati, tapi malam itu semuanya di luar kendali. Aini mengingat suara ponsel yang berdering di tengah malam, suara asing dari seseorang yang mengatakan bahwa Hana telah mengalami kecelakaan.

"Aini, kami sudah berusaha semampu kami," kata dokter di rumah sakit malam itu. Tapi kalimat itu tidak pernah sampai ke telinganya sepenuhnya. Hanya ada suara kosong dan wajah Hana yang tampak damai, meskipun tubuhnya tidak lagi bergerak.

Lima bulan berlalu, dan Aini merasa terjebak di antara keinginan untuk melupakan dan kebutuhan untuk mengingat. Setiap pagi, embun menjadi teman setianya. Ia selalu membayangkan Hana berdiri di sisinya, menunjuk dedaunan dan berkata, "Lihat, embun itu seperti kita. Hanya sementara, tapi menenangkan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline