Lihat ke Halaman Asli

Mario Sutantoputra

Advokat; Konsultan Hukum, alumnus program pasca sarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer

KPK dan Perkara Koneksitas

Diperbarui: 24 Juli 2024   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Menarik mencermati uji materi terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ('UU KPK') dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ('KUHAP") yang terdaftar dengan Nomor register perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023 pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik. Uji materi tersebut intinya adalah pengujian atas frasa kata "mengkoordinasikan dan mengendalikan" pada ketentuan Pasal 42 UU KPK dan beberapa frasa kata pada KUHAP. 

Hal tersebut diajukan oleh Pemohon uji materi mengingat menurut Pemohon, kewenangan penyidik dan penuntut pada KPK dalam lembaga peradilan koneksitas belum disebutkan dalam ketentuan yang berlaku saat ini khususnya KUHAP.  Hingaa saat ini perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota TNI yang ditangani KPK, perkaranya diadili secara terpisah (splitsing).

 Kewenangan KPK Terhadap Militer

KPK berdasarkan Pasal 42 UU KPK mempunyai kewenangan dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Namun demikian ketentuan ini tidak serta merta dapat diterapkan ketika melakukan pemeriksaan terhadap anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, mengingat pihak yang dapat melakukan pemeriksaan, penangkapan dan penahanan terhadap anggota TNI hanyalah dapat dilakukan oleh Ankum, Polisi Militer dan Oditur (Vide Pasal 69 ayat 1 Jo. Pasal 1 angka 11 UU Peradilan Militer).  Penyimpangan mana hanya mungkin terjadi ketika misalnya terdapat OTT dan ketika dilakukan penangkapan baru diketahui ternyata yang bersangkutan merupakan anggota TNI, di mana KPK hanya dapat mengamankannya dan segera berkoordinasi dengan POM TNI. Kewenangan atribusi yang dimiliki oleh KPK berdasarkan UU tentunya harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku bagi anggota TNI yakni UU Peradilan Militer.

Isu Terkait Kedudukan Jaksa Agung.

Sekalipun secara atribusi KPK diberikan kewenangan oleh UU untuk melakukan koordinasi dan pengendalian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Namun demikian dalam uji materi tersebut menurut penulis terdapat beberapa isu sentral yang akan menjadi perdebatan terkait kedudukan Jaksa Agung khususnya asas single prosecution system dan asas dominus litis.

Kedudukan Jaksa Agung sebagai satu-satunya pengendali penuntutan berdasarkan asas single prosecution system menempatkan Jaksa Agung sebagai penuntut tertinggi di Indonesia. Hal mana ditegaskan dalam Pasal  18 ayat (1) UU No 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ['UU Kejaksaan']. Berdasarkan asas delegasi kewenangan menuntut, Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi berwenang untuk mendelegasikan kewenangan menuntut kepada siapapun yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Asas mana tertuang pada Pasal 35 ayat (1) huruf I dan J UU Kejaksaan yang menyatakan "Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada oditur jenderal untuk melakukan penuntutan dan mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan". Pasal 35 ayat (1) huruf I  tersebut merupakan penegasan dari Pasal 57 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 57 UU Peradilan Militer menyatakan "Oditur Jenderal dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima". 

Ketentuan tersebut selaras pula dengan ketentuan Pasal 39 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer. Hal mana semakin menegaskan akan sistem single prosecution system, di mana tidak ada lembaga lain yang berhak melakukan penuntutan kecuali di bawah kendali dari Jaksa Agung.

Jaksa selaku penuntut umum untuk melakukan penuntutan mendapatkan delegasi kewenangan dari Jaksa Agung. Pelaksanaan kekuasaan penuntutan oleh  Kejaksaan dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang merupakan satu dan tidak terpisahkan (een en ondeelbaar). Penuntut umum untuk melaksanakan penuntutan mendapatkan surat perintah tugas dari atasannya yang tentunya kewenangan tersebut berasal dari Jaksa Agung. Di mana untuk tingkat untuk tingkat Kejaksaan Agung dilakukan oleh Jaksa Agung Muda, pada tingkat Kejati diberikan oleh Kajati dan untuk tingkat Kejari diberikan oleh Kajari. 

Hal tersebut didasarkan pada ketentuan sebagai berikut: UU Kejaksaan, Perpres tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan juga Keputusan Jaksa Agung tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline