Baru-baru ini, saya memberitahukan kepada seseorang bahwa ada seorang kenalan saya yang baru saja meninggal. Yang meninggal ini adalah seorang yang sudah sangat tua. Umurnya 80-an.
Seorang yang berbicara dengan saya ini, kebetulan juga sudah tua. Umurnya 60-an. Ketika menyampaikan kabar itu, lawan bicara saya ini hanya merespon, "Turut berdukacita atas kematiannya. Saya akan mendoakannya". Dia memberitahukan isi hatinya itu sambil tersenyum.
Kemudian saya bertanya, "Mengapa Anda tersenyum?" Lawan bicara saya ini malah tambah tersenyum. Awal melihat dia tersenyum, saya begitu tidak mengerti.
Tetapi, beberapa menit kemudian hasrat untuk menemukan jawaban atas pertanyaan "Mengapa Anda tersenyum?" mulai mereda. Saya lalu berhipotesa bahwa mungkin dia sedang mengingat dirinya yang juga sudah sangat tua.
Sempat beberapa detik kami terdiam, lawan bicara saya yang sudah tua ini berkata.
"Hari ini kenalanmu yang pergi. Saya sedang menunggu giliran", katanya sambil tersenyum pula.
Saya tersontak mendengar apa yang telah dikatakannya. Mengapa dia berbicara begitu? Apakah ini jawaban atas pertanyaan saya tadi? Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pikiran, saya mencoba memverifikasi pernyataannya itu.
"Mengapa Anda berkata demikian?" saya bertanya dengan sungguh.
"Karena umur saya sudah terlalu tua jua. Kamu masih terlalu muda", katanya sambil tersenyum lagi.
Entahlah, apakah memang dia sedang bersiap menunggu giliran atau entahlah. Tapi, saya tentu tidak puas dengan jawabannya itu. Pikiran saya memang tidak pernah puas dengan jawaban yang demikian. Bahkan untuk hal yang sepele dan sederhana.