Lihat ke Halaman Asli

Takkala Tuhan Tiada

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Para filosof kehilangan kehilangan arah saat memandang dunia, yang mungkin bagi mereka tak lebih dari sekedar penelitian dan penghidupan. Absurditas, mungkin lebih tepat untuk menyebutnya. Meminjam istilah Sartre yang menggap dunia ini dan seisinya tidak memiliki alasan untuk tercipta. Eksistensialis itu lupa meletakan Tuhan dibalik dunia tersebut dan mengetahui bagaimana eksistensi dunia itu "ada" (being), ada darinya dan di dalamnya dengan celah dan cacat seperti manusia. Dunia ini bukan dipahami dengan Ketidakbermaknaan hidup yang dipahami lewat bunuh diri atau kebermaknaan hidup yang berulang-ulang. Melainkan harus dipahami dengan nalar penyembahan (spiritual dan transenden) menyingkirkan antropoteosentrisme dalam diri yang menganggap bahwa subjek itu imanensi yaitu ada di dalam dirinya, ada untuk dirinya dan tidak bergantung kepada yang lain.

Tidak, kematian dan kehancuran menjawab pertanyaan sartre sebenarnya. Tak ada pangkal keabadian dalam diri manusia jika manusia masih mengakui ada yang lebih di luar dirinya. Ini bentuk spiritual yang tak pernah terjamah oleh siapa pun melainkan hanya bagi mereka para kreasionis saja. Tuhan tak termanifeskan lewat penciptaannya jika itu mampu dibantah oleh para evolusionis, tapi pada akhirnya mereka akan bertanya ke arah mana tujuan penciptaan dan evolusi ini terus berlangsung. Humanis pun akan gagal membangun altruistiknya jika tak memiliki tujuan kepada siapa itu dilakukan. Tuhan pun tak harus nampak untuk membuktikan diri-Nya Tuhan, sebagaimana fikiran untuk memikirkannya tak pernah ada secara being melainkan abstaksi yang hanya indera pendengaran yang mampu menangkapnya. Lantas, mengapa tidak menjadikan akal juga sebagai indera dalam menangkap rasonansi Tuhan immateri ? dan menggerakan seluruh indera untuk menangkap rasonansi Tuhan yang materi ? Tuhan telah hadir jauh sebelum pujian-pujian tentangnya dikumandangkan dan hingga saat ini mengatur keberadaan.

Tuhan sepertinya memang tak lagi memiliki tempat dipikiran bagi para humanis dan evolusionis, filosof positivistik apalagi, membuang jauh-jauh segala bentuk intepretasi yang mengatasnamakan Tuhan dalam pengetahuan dan keilmiahan. Tak ada keajaiban Tuhan untuk perubahan natural maupun social, sekalipun itu religious yang membangun pondasi masyarakat dengan aspek spiritual yang ketat dan menandai diri mereka dengan ritual kpercayaan bagi para positivistic tak lebih hanya masyarakat tahayul yang lemah dan hanya mampu menuhankan kekuatan yang besar diluar dirinya yang dikiranya mampu menyelesaikan problematika yang nyata. Tak heran jika Freud, Karl Marx, Nietzhe, Durkheim, Frazer dan Tylor hanya menggap agama itu inferior di bawah ilmu pengetahuan yang mampu mengartikan fenomena saat ini. Objek-objek kajian agama dengan menggunakan latar belakang pendekatan ilmu pengetahuan bukan untuk melakukan konstruksi teori dalam beragama, melainkan hanya untuk mendekonstruksi agama menjadi lebih kuno, kolot, imajinatif, lemah, irrasional yang akhirnya akan sampai pemahaman seseorang kepada representasi bahwa Tuhan itu tidak ada dalam keberimanan seseorang.

Memberikan alasan bahwa akal mampu menjawab segalanya, ilmu pengetahuan mampu membuat segalanya dan diri sendiri mampu melakukan semuanya adalah sebuah bentuk dari kematian berpikir tentang Tuhan dalam menggapainya. Bencana alam bisa dideteksi, tapi tak mampu dicegah. Kematian mampu diperkirakan tapi tak mampu dihindari. Ketuaan mampu diperlambat tapi tak mampu dihilangkan. Itu semua memang proses alam, dan mustahil terjadi dengan sendirinya. Segala sesuatu pasti memiliki tujuan. Tesis awal tentang kehidupan oleh para sofis terdahulu dan filosof alam. Lantas apa tujuan bencana alam, kematian dan ketuaan ? mungkinkah hanya untuk disandingkan dengan proses kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan. Seperti konsep Yin dan Yang memadukan antara melekatnya dua unsur yang sebenarnya bertolak belakang namun saling berhubungan. Kemenjadian dan kehancuran bukanlah dua hal yang ada dan dimaklumi begitu saja dengan mudahnya oleh para filosof. Jelas itu bertolak belakang dengan refleksi dan pemikiran yang sejatinya terus dicari secara radikal apa, bagaimana dan mengapa demikian.

Melabeli dengan mudah worldview dunia adalah dualisme menjadikan rene descrates bapak rasionalisme dunia yang pada akhirnya siap menumbuhkan materialism dan positivism modern. Pandangan yang dianut meniscayakan dunia ini hanya terdapat dalam dunia hal, soul-body dalam melihat realitas kehidupan. Menjembatani idealism dan empirisme menciptakan aliran filsafat baru yang pada hakikatnya hanya berdaya nalar positive juga, Tuhan dinegasikan di dalam dunia karena tidak memiliki pengetahuan yang pasti dalam mind (soul) dan present dalam bodi. Pada akhirnya semakin dibuktikan keniscayaan tersebut dengan lahirnya positivisme yang dipelolpori oleh John Locke sebagai perwujudan bahwa apa yang Nampak itulah pengetahuan dan itulah kebenanaran. Nalar ketuhan tak bisa menjawab tatkala Tuhan itu sekali lagi tak tampak dipermukaan. Tuhan memang benar-benar tiada untuk pengetahuan, ini bukan karena letak geografis antara timur pelopor wisdom dan barat rasionalitas. Ini adalah perkara perebutan tahta ketuhanan di dunia. Maka jika Tuhan tak mampu merebut tahtanya di muka bumi kenapa manusia harus mengalah pada keimanannya ? bukankah Tuhan tak mampu menolong hamba-Nya yang taat saat hampir mati kelaparan ? inilah kesalahan mereka manfsirkan Tuhan dengan eksistensi yang real dengan materi sebagai manifestasinya. Mereka lupa materi itu pasti akan hancur dan berubah dan tentu akan sangat paradoks sepertinya jika Tuhan bermateri seperti yang diinginkan para atheis sebab materi adalah ciptaan. Walau pun kita akan membahas panjang sesuatu yang ada itu pasti memiliki materi, maka ketika Tuhan itu ada tunjukan dimana materi-Nya.

Kenyataannya, manusia-manusia dengan rasio hanya hidup di alam yang kasat mata saja. Ini membuktikan mereka benar-benar tertutup dengan yang ada di luar sana, atau pun tentang ide mereka. Tuhan harus ada di terutama di dalam pikiran-pikiran mereka sang intelektual dan filosof, bagaimana pun keberadaan Tuhan itu agar kiranya terciptanya sebuah keniscayaan akan manusia yang sungguh dimanusiakan. Keberadaan manusia sudah terlalu banyak dibuktikan sebagai keberadaan yang bukan tercipta dengan sendirinya. Keberadaan yang tak memiliki daya (dependensi) ketergantungan telah menyangkal segala bentuk pengakuan tentang keperkasaan, tentang kekuasaan dan tentang keterbatasan. Manusia terbatas dengan segala yang telah ada, menjadikan sesuatu yang ada di luar diri manusia merupakan perwujudan yang luar biasa. Insting penyembahan tersebut bukan tidak bisa dipungkiri melainkan harus dipahami sebagaimana adanya insting akan kebutuhan makan, minum, rasa aman dan cinta. Itu semua logis dan itu semua benar adanya. Tuhan tak akan pernah bisa ditiadakan melainkan ketiadaan bagi mereka yang beranggapan demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline