Toxic Masculinity di Indonesia: Tantangan Menuju Kesetaraan Gender
Pertanyaan mengenai "toxic masculinity" atau maskulinitas beracun mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun fenomena ini semakin mencuat dalam diskusi seputar peran gender dan pola pikir di masyarakat terutama dalam masyarakat kita Indonesia.
Toxic masculinity mengacu pada norma-norma sosial yang menekankan atribut maskulin tertentu, seperti keberanian, dominasi, dan ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi selain kemarahan. Sebagai dampaknya, konsep ini dapat merugikan baik pria maupun perempuan, dan bahkan meracuni dinamika sosial secara keseluruhan.
Singkatnya toxic masculinity adalah konsep yang digunakan untuk menggambarkan aspek hegemoni masculinity yang merusak secara sosial, seperti misogyny (misogini), homofobia, dan dominasi kekerasan.
Konsep ini berasal dari teori psikolog Shepherd Bliss pada tahun 1990 dan digunakan untuk membedakan dan memisahkan nilai positif dan nilai negatif dari gender laki-laki berdasarkan sumber yang dikutip dari situs kemenkes.go.id.
Toxic masculinity terjadi ketika seseorang laki-laki mengalami tekanan untuk mencapai standar yang ditentukan masyarakat, seperti ketangguhan, anti-feminitas, dan kekuasaan.
Dampak toxic masculinity dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental, seperti depresi, stigma maskulin, gangguan emosional, dan penyalahgunaan obat-obatan. Toxic masculinity juga berhubungan dengan kekuasaan seksual dan empati rendah. Dalam masyarakat yang memegang teguh nilai patriarki, toxic masculinity masih marak terjadi, terutama pada generasi Z.
Apa Itu Toxic Masculinity?