Salah satu hal yang penulis tunggu-tunggu ketika menginjak bangku sekolah adalah ketika bulan bahasa datang. Sebagai anak muda yang mempunyai motivasi khusus terhadap bahan bacaan, penulis menanti-nantikan kegiatan yang diadakan secara rutin setiap tahun selama sebulan, yakni silent reading.
Dalam kegiatan tersebut, kami bersama-sama meluangkan waktu kurang lebih 30 menit dan bersatu dalam keheningan untuk membaca buku-buku kami. Betapa menariknya, setengah jam setiap hari, kompak kami menempatkan diri kami sebagai 'jamaah pengonsumsi informasi'. Tidak ada pemandangan yang lebih baik dari itu. Guru, sebagai fasilitator menaruh kebebasan bagi penulis dan siswa lainnya untuk meilih buku yang kami suka.
Di samping silent reading, juga terdapat aktivitas mengliping yang juga meluangkan panjang durasi yang sama. Penulis terlebih tentu juga menyukainya. Disini kami membaca sejumlah berita dari rubrik tertentu, dari surat kabar tertentu, kemudian mengguntingnya dan menempelkannya secara rapi, lalu dilampirkan tanggapan dan refleksi kami mengenai pilihan berita-berita tersebut.
Genap sudah, satu jam jatah pelajaran reguler kami terpakai secara lebih berguna, ketimbang mengisinya dengan kekantukan dan keganduhan angin pagi jam pelajaran pertama. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kliping merupakan kata kerja serapan dengan kata dasar 'klip', yang bermakna alat untuk menjepit lembaran kertas menjadi satu.
Jika lembaran kertas dianalogikan sebagai butir-butir informasi, maka penulis secara subjektif mendefinisikan kliping sejatinya adalah tentang menyatukan butir-butir informasi tersebut sebagai satu kesatuan produk baca yang mengasyikan dan mengunggah pikiran.
Namun sangat disayangkan budaya nan literatif tersebut terhenti begitu saja ketika dinamika Sekolah Menengah Atas sudah didepan mata penulis. Tepat lima tahun lalu, penulis mengingatnya, kapan terakhir penulis mengkliping (sayangnya tidak dengan berita terakhir yang penulis klipingkan).
Seakan tiba-tiba perasaan penulis ingin sekali dibawa kembali kepada semua ingatan tersebut, penulis akhirnya berinisiatif diri untuk kembali melakukan hal serupa selama liburan perkuliahan tahun ini. Paling tidak, selain mengobati kerinduan, penulis juga berharap ini dapat membayar ketidaksempatan penulis untuk menimbrungi surat kabar selama perkuliahan oleh karena desakan tugas dan sebagainya.
Sempat tersarang dipikiran penulis. Apakah budaya kliping masih dapat bertahan? Suatu pertanyaan yang mengakaji persoalan sepele, namun cukup krusial untuk Indonesia yang masih tergolong perlu banyak belajar dalam hal melek informasi. Titik berat daripada tantangan langsung dalam dunia pendidikan Indonesia adalah pada bagian masa transisinya.
Transisi dari budaya belajar tradisional menuju yang modern. Di satu sisi, hal tersebut merupakan konsekuensi langsung dari digitalisasi informasi. Ketika dunia teknologi semakin menjamin penuh keberlimpahan dan kebebasan berinformasi, budaya pengolahan dan dokumentasi pengetahuan serta informasi yang kuno dan tidak efisien seperti pengklipingan sendiri mulai ditinggalkan.
Namun di sisi lain, perlu upaya adaptasi yang kompeten dari sisi para pelaku dan penikmat digitalisasi informasi tersebut. Adapatasi yang kompeten yang penulis maksud adalah bicara tentang budaya literasi. Artinya bahwa proses transisi model belajar ujung-ujungnya akan menuntut adaptasi literasi informasi sesuai dengan bahan petimbangan yang sama, yakni kehadiran internet dan teknologi, sehingga akan koheren dengn tuntutan perubahan jaman yang ada. Disinilah modernisasi literasi terjadi.
Paradigma ketidakterbatasan pengolahan dan pengaksesan informasi yang tidak dituntut dengan pengkayaan kapasitas pengetahuan diri hanya akan membawa generasi Z pada sebuah jurang kesesatan. Maka, modernisasi literasi jelas adalah ikthiar yang diperlukan. Kira-kita begini gambaran konsekuensi yang ditanggung ketika modernisasi literasi tidak ditanam, dapat dilihat pada bagian yang ditebalkan dari paragraf berikut :