Lihat ke Halaman Asli

Mario Baskoro

Punya Hobi Berpikir

Masih Haruskah Jadi Orang yang Alay?

Diperbarui: 6 Juli 2017   07:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Harian Jogja.

Seakan teknologi komunikasi sudah kehilangan fungsi sejatinya, kini bentuk komunikasi dikalangan pergaulan anak muda sudah terekontruksi secara tidak wajar. Esensi awal komunikasi ialah pertukaran informasi antara dua atau lebih pihak untuk mencapai persetujuan. Informasi yang dimaksud dapat berbentuk suara, tulisan dan visual (gambar atau video). 

Ketika fenomena pertukaran dan persebaran pesan tersebut secara membabi buta 'berpindah haluan tujuannya', di sinilah akan lahir proses komunikasi yang merepresentasikan paradigma narsisme yang berlebihan, atau dalam konteks jaman sekarang disebut sebagai 'alay'.

'Alay' sesungguhnya merupakan konsekuensi dari implementasi komunikasi lintas global yang tidak terkontrol dan terukur konteks tempat, waktu dan etikanya. Merujuk pada realitas yang ada, alay dipersepsikan oleh anak muda sebagai 'penyakit sosial' yang dimiliki oleh segelintir dari mereka yang mempunyai kebiasaan buruk mempertegas eksistensi diri secara berlebihan dengan mengandalkan pemanfaatan teknologi komunikasi. Media sosial adalah teknologi komunikasi yang digarisbawahi dalam essay ini. 

Facebook dan Instagram adalah segelintir dari contoh konkritnya. Sebagai salah satu bentuk teknologi komunikasi yang memungkinkan lintas global, Facebook dan Instagram sendiri menawarkan fitur yang cukup kompleks, dimana siapa saja dapat melakukan semacam aktivitas penempatan pesan atau biasa yang disebut dengan postingan. 

Baik dalam bentuk verbal (status) ataupun simbolik (hasil upload gambar atau video), penempatan pesan tersebut menciptakan semacam 'penwacanaan' yang membuka kesempatan bagi siapa saja untuk ikut berinteraksi di dalamnya; dalam bentuk sebutan komentar dan like. Ya.... Komentar dan like.... Dua hal itu lah yang akan menjadi titik berat dari pembicaraan di sini.

Seakan sudah menjadi kebutuhan primer, kini tidak sedikit generasi muda yang sungguh menggilai pemenuhan kebutuhan akan komentar dan like dalam kehidupan mereka. Hal tersebut merupakan dampak dari suatu kondisi di mana persepsi anak muda masa kini sudah terasuki oleh asumsi murahan yang mengatakan: 'semakin banyak like dan komentar, semakin saya terkenal'. 

Terkenal yang dimaksud sesungguhnya tidak bermakna terkenal sebagaimana secara harfiah, melainkan terkenal dalam arti bahwa eksistensi diri mereka diketahui dan dipedulikan oleh banyak orang. Akibatnya, banyak anak muda yang rela melakukan apa saja demi menampung seluruh pujian semu tersebut, bahkan dengan jalan yang tergolong konyol sekalipun. 

Entah mengapa dengan cara yang mengejutkan hal tersebut dijajaki oleh hampir semua anak muda produk modernisasi dan akhirnya menjadi tren. Gambaran paradigma serupa teruntuk-utamakan bagi anak muda tertentu yang sudah terlalu nyaman menempatkan tumpuan kebahagiaan hidupnya pada dunia maya. 

Kondisi tersebut pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan 'bintang media sosial'. Tidak jarang istilah tersebut kini dipandang sebagai suatu bidang keprofesian, dikarenakan terdapat pertumbuhan yang siginifikan akan jumlah insan muda yang berhasil meraup pundi keuntungan melalui media sosial sendiri.

Dalam kondisi tertentu, satu akun 'bintang media sosial' dapat memproduksi belasan hingga puluhan postingan status dalam satu hari. Dengan begitu mudahnya, mereka menulis apa yang mereka pikirkan dan rasakan, dan dalam sekejap milyaran orang mempunyai akses hampir tak terbataskan untuk membacanya. Dengan begitu simpelnya, mereka membagi momen dengan banyak orang tidak dikenal, melalui bentuk hasil upload-an foto atau video. Pada umumnya, kebanyakan dari mereka digandrungi oleh banyak pengikut yang tidak menahu banyak hal. 

Ketika para kelebihan jumlah pengikut tersebut memenuhi kebutuhan komentar dan like mereka dengan kapasitas yang sangat besar, akun yang bersangkutan akan mengalami suatu proses yang dinamakan 'haus eksistensi'. Kondisi tersebut memaksa mereka untuk melakukan pengulangan aktivitas serupa, dengan asumsi keuntungan bahwa mereka akan memperoleh lebih banyak respon dan acungan jempol hingga hasrat mereka terpenuhi (atau justru tidak akan pernah terpenuhi ?). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline